From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » IN MEMORIAM OM PRIMUS VENANTIUS EMBU LA: Meninggalkan Wasiat Yang “Tak Biasa”

IN MEMORIAM OM PRIMUS VENANTIUS EMBU LA: Meninggalkan Wasiat Yang “Tak Biasa”

Written By Unknown on Sunday, July 22, 2018 | 7:08 PM

Oleh Giorgio Babo Moggi

Pagi, saya membaca status facebook dokter Imelda Ngganggus Ora tentang kepergian om Primus – Primus Venantius Embu La. Saya tak mengenal om Primus secara dekat. Tapi dua atau tiga kali pertemuan dengannya meninggalkan kesan yang membekas.

Saya mengenal keluarga besar Embu La melalui almarhum Pater Yohanes Bele SVD. Mantan Rektor Unwira Kupang. Kala itu saya masih mengajar di sana. Saya dan Pater Yan ke rumah keluarga Embu La di Sikumana beberapa kali. Dalam kurung waktu yang cukup lama saya tidak bertemu om Primus.

Beberapa tahun kemudian, om Primus melintas di lorong dekat ruang kerja saya. Ia sempat menengok dan mengumbar senyum khasnya. Saya tidak sempat beranjak dari kursi dan menyapanya. Ia berlalu dengan cepat.

Pagi, setelah saya mendengar kabar kepergiannya, saya berangkat ke kantor. Saya tak pernah mengira bahwa om Primus pernah mengabdi di kantor yang saya tempati sekarang. Saya tahu hal itu dari ucapan belangsungkawa Roby, rekan kerja. Tak berselang lama, saya mendengar obrolan Ibu Sofi dengan rekan kerja lain di sela-sela perbincangan mereka soal program dan kegiatan. Baik Roby maupun ibu Sofi memberikan ‘kesaksian’ tentang om Primus sebagai orang yang baik.

Senyum adalah kekhasan om Primus. Kesan saya. Senyum itu pula menjadi kenangan yang tak terlupakan tentang sosok ini. Atas kenangan itu pula dan hubungan yang terjalin dengan keluarga Embu La, saya melapangkan waktu untuk menghantarnya ke tempat peristirahatan abadi.

Saya tiba di rumah duka kira-kira 30 menit sebelum upacara pemakaman. Saya sempat menyapa Fredy yang sibuk mendokumentasi momentum di tenda duka. Saya terus masuk kedalam rumah. Di sana om Primus disemayamkan sebelum menuju pembaringan terakhir. Kerabat keluarga om Primus mengitari jenazahnya. Ruang yang luas seperti tak sanggup menampung keluarga dan para pelayat. Saya baru saja melangkah di pintu masuk, mata saya mengekor bayangan bergerak di sebelah kanan. Saya mengarahkan pandangan ke arah bayangan tersebut. Pria yang wajahnya tak asing berdiri dan menyalami saya. Hati saya tersentak. Saya tak mengira kalau om Epi Embu Agapitus mengenal saya karena selama ini kami hanya baku sapa lewat facebook. Ini adalah perjumpaan yang pertama kali dengan om Epi Embu Agapitus – adik kandung dari om Primus. Om Primus jua yang mempertemukan kami. Setelah berdoa dan salaman, saya keluar dan bergabung dengan opa Arki di bawah tenda.

Pemandangan unik misa requem kali ini. Susunanan acara berbeda dengan upacara serupa yang saya pernah ikuti. Misa diawali dengan pembacaan riwayat hidup dan sambutan. Biasanya, upacara pemakaman diawali dengan misa kemudian diikuti pembacaraan riwayat hidup dan sambutan-sambutan serta terakhir pemakaman. Bukan tentang perbedaan ini yang hendak dibahas melainkan tentang wasiat om Primus.

Pada saat pembacaan riwayat hidup, ada satu bagian yang dilewatkan oleh pembawa acara. Sebenarnya, itu merupakan bagian yang teramat penting. Dari sinilah sidang perkabungan dapat menelusuri jejak karir dan karya bhaktinya. Ternyata om Primus meninggalkan wasiat. Wasiat yang tak biasa bagi kebanyakan orang yang meninggal. Permintaannya satu saja. Tak usah membaca riwayat pekerjaan. Karena wasiatnya itulah saya tak menguraikan perjalanan kariernya di sini sebagai wujud penghormatan kepadanya.

Wasiat, ya, wasiat. Kita tak pernah tahu setiap alasan di balik wasiat itu – kecuali dirinya sendiri. Di sini, saya berusaha menerawang dan menarik benang merah antara wasiat dengan habitus (keseharian hidup) om Primus.

Kesan om Primus sebagai sosok yang baik tak hanya mendengar langsung dari Roby dan ibu Sofi. Pak Nus Jawa yang mewakili Keluarga Besar Nagekeo (IKEBANA) Kupang, dalam sambutannya, pula menggambarkan almarhum sebagai sosok yang baik. Pujiannya mungkin sedikit subyektif seperti pengakuannya karena ia sendiri memiliki hubungan kekeberatan dengan almarhum. Tetapi testimoni yang diterima pak Nus dari sejumlah rekan kerja om Primus di beberapa SKPD memberikan penilaian yang sama. Om Primus memang orang baik. Mantan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, setelah mengetahui kepergiannya mengungkapkan kalimat yang memberikan kesan yang sama, “Dia orang baik.” Atas kenangan dan kebaikan itu, bapak Frans Lebu Raya menyempatkan diri untuk melayat om Primus pada malam sebelum hari pemakaman.

Dari sejumlah kisah yang terurai dari orang-orang yang pernah bekerja sama, om Primus bukan pegawai biasa. Ziarah di dunia birokrasi panjang. Mungkin berbagai jabatan telah diraihnya. Tapi, entah mengapa om Primus meninggalkan wasiat yang tidak biasa itu? Apa yang dipikirkan saat itu? Sejumlah tanya yang tak akan dapat jawabannya karena ia telah tiada.

Dewasa ini orang berusaha cenderung memperpanjang daftar riwayat hidupnya dengan berbagai alasan. Alasan pekerjaan, profesi dan politis - apalagi menjelang pesta demokrasi. Riwayat hidup menjadi salah satu credit point bagi seorang dalam sebuah kompetisi. Paling tidak deretan curriculum vitae (CV) itu merupakan ringkasan perjalanan hidup seseorang. Menjadi dasar atau alasan orang mengenal lalu memilihnya. Tapi, apalah arti riwayat pekerjaan bagi seorang yang telah wafat?

Dalam perspektif om Primus, mungkin, riwayat pekerjaan tak berarti bila kematian tiba. Mungkin, baginya, bukan soal deretan panjang rekam jejak karier, jabatan dan posisi yang dibanggakan, ditulis dan dibaca saat perkabungan. Melainkan bagaimana ia mengisi hidup itu sepanjang kariernya. Kenangan itu bukan pada lembaran atau secarik kertas. Kenangan itu abadi pada setiap hati dan memori orang-orang yang pernah bersama-sama dengannya. Dari Roby dan ibu Sofi, saya menemukan diri om Primus sebagai rekan kerja dan pemimpin yang baik. Belum lagi pengakuan pak Nus, bapak Frans Lebu Raya dan lain-lain. Setiap kenangan itu pasti terukir pada setiap hati sanubari orang-orang yang mengenalnya baik sebagai rekan kerja maupun atasan.

Dari kisah kecil om Primus, saya jadi ingat dengan Mama Belgi, seorang pekerja sosial asal Belgia di Maumere. Ketika saya hendak menulis tentang kisahnya dua tahun yang lalu, ia berdalil dengan kalimat yang sangat singkat.

“Tuhan telah menulisnya di surga.”

Hal yang sama yang saya bisa pahami dalam diri om Primus. Semasa hidupnya ia telah membaktikan dirinya secara tulus sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Segala kebaikan itu memang tidak tercatat dalam lembaran demi lembaran kertas. Yang pasti segala kebaikannya itu tercatat pada setiap lembar hati orang yang pernah mengenalnya. Selain itu, wasiat ini menampakkan sosok om Primus yang rendah hati. Figur yang sederhana, tidak ambisius dan ramah.

Selamat jalan om Primus.
Beristirahatlah dalam damai Tuhan.***(gbm)

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul IN MEMORIAM OM PRIMUS VENANTIUS EMBU LA: Meninggalkan Wasiat Yang “Tak Biasa”,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel IN MEMORIAM OM PRIMUS VENANTIUS EMBU LA: Meninggalkan Wasiat Yang “Tak Biasa” ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link IN MEMORIAM OM PRIMUS VENANTIUS EMBU LA: Meninggalkan Wasiat Yang “Tak Biasa” sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 7:08 PM
Share this post :

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger