Aku
dan Dia
Emilianus Yakob Sese Tolo*
Seorang petani yang selalu menemukan
kegembiraan saat menulis dan punya keyakinan bahwa menulis bisa menginspirasi
dan mengubah dunia. Saat ini, penulis berdomisili di kampung, Nagepada,
Lorong Dolog, Boawae, Flores.
Lima Agustus 2004.
Inilah hari pertama aku masuk bangku kuliah dan mengenal dia. Ketika itu aku melihat dia begitu manis dan cantik. Apalagi, baju ketat dan celan jins yang dipakainya menampakan lekukan
keindahan tubuhnya yang aduhai. Ya, harus kuakui, dia memang gadis yang cantik.
Namun, walaupun dia cantik, dia tidak seperti gadis lain yang over acting dengan kecantikannya. Dia
berbeda. Dia memilih menjadi peribadi dingin. Sifat dinginnya in justru membuat dia tampak dewasa. Hal
inilah yang membuat aku ingin mengenal dia lebih dalam.
Dua minggu kemudian.
Aku memberanikan diriku untuk mendekati dia. Ketika aku
melihat dia masuk perpustakaan, aku pun pura-pura ke tujuan yang sama. Tanpa
terlalu mengekorinya dengan bola mataku, aku sengaja
mencari-cari buku yang terserak di
rak buku tak teratur di dekat dia sedang membaca.
“Filsafat Bola.”
Inilah buku yang menarik perhatianku. Kuraihnya dan membuka sekilas
isinya. Lalu aku segera menuju ke meja dimana dia duduk. Kebetulan ada satu
kursi yang tak terisi, dan dikursi itulah aku duduk, telak berhadap-hadapan
dengan dia.
Dia tidak peduli dengan kedatanganku. Rupanya dia suka baca.
“Koperasi Perempuan: Kajian Feminisme.”
Itulah judul buku yang sedang dibacanya melompat masuk ke bola
penghilatanku.
Selama dalam perpustakaan itu, batinku tidak tenang. Pikiranku selalu
berkutat dengan susunan-susunan kalimat yang baik dan pantas,
sekurang-kurangnya menurutku, untuk membuka percakapan dengan dia. Tapi,
semuanya sia-sia. Keinginanku untuk berkomunikasi dengan dia gagal karena
keinganku dikalahkan oleh rasa takut dan maluku. Karena itu, hari itu, rencanaku yang telah aku siapkan tadi malam gagal. Aku pun
berniat untuk menyusun strategi baru.
Seminggu kemudian.
Hari itu ada kegiatan Temu Akrab untuk angkatan kami
di kampus Undanna. Kegiatan itu akan terjadi di
pantai Lasiana, Kupang. Aku berniat untuk mengeksekusi rencanakanku.
“Hari ini aku harus berhasil,” demikian bisiku dalam hati.
Ketika matahari agak tinggi, setelah makan siang bersama, aku dapati dia
bertenduh sendirian di pohon bakau yang tak terlalu rindang. Ketika
aku datang mendekati dia, dia tersenyum menyambut kedatanganku, lalu mempersilahkan aku
duduk di sampingnya.
Aku mulai membuka percakapan. Aku pura-pura menanyakan asalnya. Padahal
aku udah tahu asalnya dari kawan dekatnya. Dia menjawab seadanya, dan kami berdua pun bercerita tentang pengalaman
awal-awal perkuliahan kami.
Dari gaya dan cara dia merespons pertanyaan-pertanyaanku, naluri kelaki-lakianku
menyimpulkan bahwa dia mungkin suka sama aku. Tetapi aku masih takut
dan ragu untuk mengungkapkan perasaanku
padanya. Jangan-jangan dia akan menolakku.
Dengan semilir bayu
pantai yang melambai-lambai, rasa ragu dan takutku mulai sirna. Aku pun mulai mengungkapkan perasaanku padanya. Ketika aku akan
membuncahkan kata dari mulutku, tiba-tiba, ada suara memangil namanya.
Dia tiba-tiba menoleh ke arah sumber suara itu.
Ternyata ibu Ningsi, pembina kegiatan Temu Akrab memanggil kami untuk
mengikuti kegiatan selanjutnya.
Aku pun tak jadi
mengungkapkan perasanku padanya.
Kegiatan Temu Akrab pun berakhir
hari itu. Dan
aku kembali gagal kali
ini.
Dua hari kemudian.
Aku pun sengaja mendekati teman akrabnya. Dari temannya, aku tahu kalau
dia suka sama aku. Temannya bilang sejak pulang dari kegiatan Temu Akrab, dia
selalu bercerita tentang aku. Dia juga selalu bertanya tentang kamu jika kamu sedang
tidak masuk kuliah.
“Dia sepertinya punya perasaan sama kamu”, kata temannya.
Kata-kata inlah yang mendorong aku untuk
segera“mengeksekusikan”perasaanku
padanya.
Tiga minggu kemudian.
Sore itu, dengan bermodalkan nomornya yang diberikan oleh temannya, aku mulai mengeksekusikan rencanaku.
Ketika SMS pertamaku dibalas dengan baik, aku amat bahagia. Dia tanya tentang bagaimana
aku bisa dapat nomor HP-nya. Aku bilang:
“Itu rahasia dan tidak penting kamu mengetahui itu. Ada hal
yang lebih penting yang perlu kamu tahu tentang kita.”
Begitulah kami ber-SMS sore itu.
Sayangnya, sore itu, aku belum berani mengungkapkan secara terus terang
kalau aku punya perasaan sama dia. Aku berencana nanti malam baru aku sampaikan
perasaanku, sebab bila disampaikan sore atau siang hari, rasanya kurang
romantis.
Malam itu.
Kira-kira pukul 9 malam, aku melayangkan perasaanku via SMS.
Aku katakan bahwa aku menaruh hati dan cinta padanya.
“Deliver succesfully.”
Itulah pesan laporan yang masuk ke HP-ku. Itu berarti pesanku sudah
diterima oleh sipemilik nomor yang dituju.
Aku pun menunggu jawabannya. Sampai jam 11.00, pesan balasan yang kutunggu tidak kunjung datang. Batinku
mulai tak karuan.
Tiba-tiba HP-ku berdering tanda ada pesan baru. Aku buka. Ternyata nomor
baru. Aku yakin ini SMS yang aku tunggu. Aku membacanya. Di sana tertulis:
“Jangan marah. Betasonde bisa terima smuanya ini. Kenapa itu smua harus terjadi pada katong berdua. Katongkan sudah seperti saudara. Kenapa begini? [….]”
Aku tidak bisa melanjutkan membaca semua tulisan SMS yang tersisa. Aku tahu bahwa dia pasti
menolakku. Ya, dia menolak cinta pertamaku.
Waktu itu,hatiku sakit. Aku pun mulai mempersalahkan diri sendiri. Mengapa aku mengirim SMS itu
malam itu yang akhirnya membuat aku sendiri terluka seperti ini, dan hubungan
persaudaraan kami mungkin akan merenggang jauh. Aku juga menyesal mengapa aku begitu
cepat percaya pada temannya. Semuanya akhirnya hari
terjadi seperti ini.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Pikiranku selalu bayangkan bagaimana
seandainya besok aku bertemu dia di ruang kuliah. Betapa malunya aku bertemu
dengan seseorang yang telah menolak cinta pertamaku. Aku berusaha untu menutup
mata dan ingin rasanya terlelap. Tetapi semuanya
sia-sia. Kuputuskan untuk membaca kembali
SMS itu.
““Jangan marah. Betasonde bisa terima smuanya ini. Kenapa itu smua harus terjadi pada katong berdua. Katongkan sudah seperti saudara. Kenapa begini?Tadi siang itu beta yang salah. Maafkan beta.
Temanmu”.
Hatiku akhirnya lega. Ternyata itu SMS dari temanku. Tadi siang aku bertengkar dengannya, teman kuliahku,
gara-gara bermain sepak bola di kampus. Aku tak sengaja membuatnya jatuh dan
terluka. Lalu temanku inibangun dan memaki-maki aku. Aku hanya diam saja karena memang itu semua
kesalahanku.
Saya masih punya
harapan.
Meskipun aku udah tahu bahwa itu bukan SMSnya dia. Tetapi, aku masih merasa tidak aman. Aku terus bertanya dalam hati:
”Mengapa dia tidak membalas SMS-ku?”.
Dalam keheningan malam itu, aku berdoa pada Tuhan agar aku masih punya
harapan. Ya, harapan untuk mendapatkan dia.
Akupun terlelap malam itu.
Besok pagi dengan harapan yang tersisa, aku berangkat ke kampus. Ternyata,
dia sudah ada di sana. Aku masuk ruang kuliah dengan sedikit malu-malu setelah bola penglihatanku
menangkap sosoknya di sudut kelas.
Melihat aku masuk kelas, dia langsung berlari
keluar meninggalkan ruang kuliah.
Rasa maluku makin menjadi-jadi. Inilah tanda-tanda bahwa harapanku untuk
mendapatkan si dia telah sirna.
Setelah aku menyimpan tas pada tempat dudukku, tiba-tiba HP-ku berdering, tanda satu pesan masuk. Aku membukanya. Ternyata pesan dari
si dia. Dia memintaku untuk keluar dan bertemunya di luar, di depan
perpustakaan kampus.
Dengan hati ragu dan bercampur malu, aku memberanikan diri keluar dan mendapatinya.
“Jangan marah.”
Itulah kata-kata diamembuka pembicaraan.
Dia berhenti sebentar.
Hatiku berdebar. Ingin rasanya aku berlari sekencang mungkin meninggalkan
dia.
“Tadi malam beta sonde balas SMS-mu”, lanjut dia.
“Tidak apa-apa”, jawabku dingin, bercampur
lumpur malu.
“Yang benar nih, tidak ada apa-apa ni”, balas dia menggoda dan membuatku
sedikitagak kikuk.
Mukaku makin memerah padam, karena kulit
memang sedikit gelap.
“Begini, beta mau ketemu kamu
nanti malam. Beta akan menjelaskan
semuanya ke kamu tentang SMS-mu tadi malam. Kamu datang ke kos beta sajaya. Kamu sudah tahu kan kos beta kan. Betatunggu kamu nanti malamya”, lanjut dia.
Aku cuma mengangguk.
Dia langsung berlari meninggalkanku mematung seorang sendiri untuk beberapa detik.
“Mengapa perempuan ini menyiksaku seperti ini. Apakah mungkin karena pikiran-pikiran
feminis yang dia baca selama ini mengajarkannya untuk memperlakukanku seperti
ini”, batinku dalam hati.
Aku pun kembali ke ruang kuliah.
Hari itu aku tidak bisa konsen dengan kuliahku. Pikiranku masih
mereka-reka jawaban apa yang akan dia diberikan untukku nanti malam.
Malam itu.
Aku bertemu dia. Kami duduk berdua di kosnya,
lalu mengungkapkan bahwadia menerima
cintaku.Katanya, dia sudah lama menunggu
ungkapan cinta dariku. Seba, dia tidak mungkin mulai duluan. Dia adalah perempuan. Laki-laki
harus yang mengambil inisiatif.
Ternyata bacaannya
selama ini tidak bisa mengubah belenggu budaya partiarkhis yang melekat erat di
bumi Cendana. Terlepas dari itu ironi ini, aku sangat dan sangat senang malam itu. Sebab, dia telah menerima cinta pertamaku.
Ketika bulan agak tinggi, aku dan dia beranjak ke belakang kos. Di sana
ada pohon cemara yang menunggu kami berdua.
Di bawah pohon cemara inilah kami berteduh. Dia menyandarkan kepalanya
dengan pasrah di dadaku. Jantungku pun mulai berdegup kecang, sebab itulah saat pertama aku duduk mengadu
kasih dengan seorang yang aku cintai. Kubelai rambut dia dengan tulus. Dia
hanya besandar pasrah di dadaku. Sesekali kukecup keningnya, dan setiap kali
aku melakukan itu, dia selalu tersenyum.
Di bawah cahaya bulan purnama malam itu juga, kami mengadu kasih untuk
pertama kalinya. Getar-getar cinta yang selama ini terpendam menjadi nyata.
Gadis cantik pujaanku dari bumi Cendana telah kulingkar dalam pelukan hangatku.
Malam itu adalah malam bersejarah dalam hidupku. Malam yang tak pernah aku
lupakan dalam hidupku. Sebab, malam itu adalah malam yang mengajarkan aku tentang cinta.
Cinta pertama dengan seorang gadis pujaanku.
Pukul 12.00 aku
memutuskan pulang ke kosku. Di depan pintu kosnya, aku mengecup keningnya dan
mengucapkan selamat berpisah. Aku memang harus pulang karena besok aku dan dia harus mengikuti kuliah. Dalam perjalanan pulang, hatiku amat gembira. Gadis pujaanku telah terperangkap dalam
pelukan cintaku. Aku berniat agar cinta yang telukis dalam diding jiwaku ini
tidak pudar oleh waktu.
Sebelum tidur malam itu, aku berdoa semoga Tuhan mengijinkan aku dan dia
tetap bersatu hingga hempasan nafas terakhir yang membuat raga ini tak
bernyawa.
Aku pun tertidur pulas malam itu.
Pagi itu, tidak seperti biasanya, aku bangun pagi-pagi. Aku bahagia sekali. Aku ingin lekas pergi
kuliah agar aku bisa lihat wajah cantik kekasihku. Aku ingin mengalami
pengalaman hari pertama punya pacar di kampus. Dalam benakku, aku ingin seperti
kawan-kawan lain yang punya pacar selama ini. Mereka selalu ke kantin bersama.
Ke perpustakaan bersama. Menunggu bemo
pulang bersama. Pokoknya, aku ingin seperti mereka.
“Aduh, betapa bersemangatnya hidup ini jika selalu ada bersama dia”, gumanku
dalam hati.
Namun, setibanya di depan gerbang kampusku, dari dalam bemo yang aku tumpang, aku melihat
kerumunan orang yang luar biasa banyaknya.
“Ada apa? Ada apa ini?’, tanyaku dalam hati.
“Kelihatan ada kecelakaan”, kudengan suara, sopir langgananku. Aku
buru-buru turun. Hatiku berdebar-debar.
Dan benar saja. Aku menjerit sekecang-kencangnya sambil membanting-banting
tubuhku di jalan melihat tubuh siapa yang tergolek di sana. Dia, gadis
pujaanku, cinta pertamaku, yang tersayang. Baru tadi malam aku bersamanya.Entah
siapa yang bercerita, sayup-sayup kudengar, dia tertabrak mobil ketika ingin
meyebrangi jalan menuju pintu gerbang kampus.
“Dia sonde lihat ada mikrolet dari arah utara yang berlari
kencang memburu penumpang pagi. Ketika dia menyebrangi jalan, tiba-tiba
mikrolet itu langsung menyambar tubuhnya. Tubuhnya terlempar dan terjatuh.”
“Ya, kasihan sekali dia! Kepalanya pecah...”, kudengar lagi suara itu
sayup-sayup.
Masih sempat kulihat baju putih yang dikenakannya bersimbah darah. Darah
segar terus mengalir dari kepala, telinga dan hidungnya. Buku-bukunya terlempar
berserakan di jalan.
Aku menangis menjadi-jadi. Tiba-tiba pandanganku terasa nanar dan detik
itu juga aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku jatuh pingsan, tak sadarkan diri!
Antara sadar dan tidak sadar, antara ada dan tiada, aku melihat senyum dia yang
manis. Ya, semanis senyumnya malam tadi.
Di lalu berkata kepadaku:
“Aku mencintaimu. Cinta kita tidak akan pernah hilang dimakan waktu. Maut
tidak akan bisa memisahkan cinta kita berdua. Jaga dirimu baik-baik.
Aku menunggumu di sana”, demikian
kata dia sambil melambaikan tangan pergi meninggalkan aku untuk selamanya.
Aku memejamkan mataku. Air mataku pun mengalir deras di pipiku.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul CERPEN: Aku dan Dia ,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel CERPEN: Aku dan Dia ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link CERPEN: Aku dan Dia sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 2:13 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos