MENJAGA TAPAL BATAS
Bagi masyarakat Toto, konflik dengan Lambo bukanlah yang pertama. Pada tahun 1970-an, ada perkara sengketa lahan sawah di Yefa, Madawitu antara masyarakat Toto dan Lambo. Dengan bukti yang lebih dari cukup, pemerintah menyatakan Yefa adalah bagian dari Tana Toto. Tapi, karena tali kekeluargaan, permintaan orang Lambo untuk bisa tetap menggarap lahan yang pernah mereka garap dikabulkan orang Toto.
Konflik wilayah tapal batas selalu mewarnai sejarah Toto. Setelah penguasaan oleh Belanda yang sangat menyakitkan pada awal abad 19 , masih terus disusul berbagai persoalan tanah yang datang silih berganti yang mengancam kesatuan tanah ulayat Toto tana Rea.
Dalam berbagai peristiwa itu, narasi Digo-Raja dengan berbagai dokumen yang tersedia---terutama sejak jaman Belanda--sepertinya menjadi kunci yang menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.
Tahun 1925, Kerajaan Tana Rea bubar dan dibagi kepada 3 swaparaja,yakni Lio, Ende dan Nagekeo. Mereka masih saja berusaha kesatuan tanah persekutuan mereka dan batas-batas itu.
Tentu tidak mudah karena terkait sebuah wilayah yang cukup luas, mendekati besar sebuah kabupaten saat ini. Pada tahun 1917 terdapat 71 kampung, yaitu 21 kampung yang masuk dalam distrik Tanah Djea, 26 di distrik Wolowae dan 24 kampung masuk dalam distrik Nangapenda. (Bdk Domi Juma Pani Pani Pessa, 1979).
Sebelum kedatangan Belanda, seorang tokoh adat di wilayah itu, Nipa Ndua, membuat struktur pembagian wilayah yang dikenal hingga saat ini.
Pengaturan tanah persekutuan Toto Tanarea (tana merhe waktu dewa) dikordinasikan oleh suku Dodo yang dibagi dalam dua bagian, Dodo turunan Digo di wilayah Toto dan Digo turunan Ratja di wilayah Tanah Djea. Mereka adalah Mosa Tana Daki Watu (Mosa Daki Tua Tana).
Di bawahnya terdapat sejumlah suku sedang yang mengatur wilayahnya sendiri (pu’u muku doka dea). Mereka adalah mosa pu’u muku daki doka dea (mosa daki). Di bawahnya masih ada suku-suku kecil (gobho co’co bhari bhete). Pemimpinya disebut Tua Adat.
Tanah persekutuan itu ditata dan dijaga dalam struktur yang sangat rapi. Keteraturan sangat memudah koordinasi ketika mereka menghadapi musuh bersama dari luar. Makanya tidak mengeherankan kalau sejarawan Stefan Dietrich menilai perlawanan terhadap Belanda di kawasan ini (Perang Watuapi, Agustus 1916-Feburari 1917) sebagai peperangan dengan koordinasi paling rapi dari semua peperangan di Flores. (Stefan Dietrich, Kolonialismus und Mission auf Flores, Klaus Renner Verlag, 1989)
Sebenarnya, dari catatan sejarah, gangguan pertama pada keutuhan wilayah Toto Tanera datang dari pihak Lio tahun 1939 terkait tanah di Togu, Kebirangga.
Raja Nagekeo saat itu J.Djuwa Dobe Ngole dan Bestuur Aisten P.H. Doko turun ke Kaburea dan berdialog dengan rombongan swapraja Lio yang terdiri dari Punggawa Kunu Ndori wangge (Wakil Raja Lio) bersama para tuan tanah dari Kebirangga, Raja Hasan Arubusman (Raja Muda Ende) dan disaksikan pihak Belanda, yakni Beetbeder (Aspirant Controleur).
Peristiwa 1939 itu diselesaikan dengan dibuatkan Memori Teolichting yang disimpan di Bajawa, satu diberikan kepada Bani Nipa, yang kemudian memori tersebut diambil dan disimpan oleh Kesu Pessa dari Nangapenda.
Tahun 1955 pada 30 Maret terjadi pembongkaran bevak di Nangamboa dalam rangka persiapan pembangunan perusahaan semen Ulu Pulu oleh warga dari Tanah Jea atas nama Rasa Gusi, Doo Sea, Eko Kira dan Sumbi Sanggu.
Kepala Daerah Flores (Manteiro) turun tangan bersama Raja Nagekeo dan Raja Ende. Lalu dibuat surat perdamaian antara Kesu Pessa dengan Rae Nipa (Ratedao) dan Waro Nipa (Ute) dengan penegasan segala urusan di Tanah Ute, Rae dan Waro tidak perlu memberitahukan kepada Kesu Pesa. Persoalan selesai.
Sementara itu, gesekan dengan Lio masih terus berlangsung. Tahun 1956 terjadi pembakaran rumah rakyat dan sekolah di Wekaseko oleh masyarakat Kebirangga. Sejak tahun 1959 gesekan itu diperkuat oleh kehadiran masyarakat Buton di bawah pimpinan La Podhi yang sering berpindah-pindah di wilayah kabupaten Ende dan Ngada.
Puncaknya terjadi peristiwa berdarah pada 12 Desember 1978 yang dikenal konflik perbatasan Ende-Ngada. (bdk Laporan Kepala Daerah Tingkat II Ngada Berupa Penjelasan Lengkap tentang Perbatasan Kabupaten Ngada dan Ende di Kabuera, 15 Januari 1979).
Hampir dalam semua peristiwa itu, narasi Digo-Ratja yang dikukuhkan melalui peta-peta Belanda bisa menjadi dasar dialog dan penyelesaian dalam babho dengan para tua adat tetangga yang difasilitasi pemerintah yang berwibawa, tanggap dan cerdas.
Hanya saja, dalam konflik dengan Labolewa di Madawitu narasi komunitas Totot Tanarea mendapat ujian serius. Di hadapan peristiwa berdarah itu, kita pantas mengajukan pertanyaan, apakah narasi itu tak lagi relevan, atau babho—yang dimoderatori oleh Pemda Nagekeo--tidak lagi bertuah?
Lalu muncul dua pilihan bagi masyarakat Toto, mencoba terus bertahan dalam diplomasi, dialog dan argumentasi (baca: babho) atau segera mengandalkan kekuatan tombak dan parang?
Ingat, ketika Belanda datang, dan Toto Tana Rea memilih untuk tidak berdialog (kooperasi) dan melawannya habis-habisan—sementara komunitas/suku lain memilih untuk melakukan kerja sama--maka risikonya ada di pan mata, yaitu kehancuran fisik, kerugian harta benda, kelelahan psikis dan kematian orang-orang terbaiknya.
Pada perlawanan pada Belanda, Nipa Do, kepala Distrik Wolowae mati ditembak, Sangu Papu, Kepala Distrik Tana Djea dipenjarakan di Singapura 10 tahun, Kepa Biu (Koekobho) ditangkap dan ditembak, Do Kepa, putra Kepa Biu dibuang ke Jawa. Hukuman juga menimpa Datja Dhosa (Watu Api), Deru Gore (Kamubheka) , Rubu Radja (Tiwe) , Sato Djoto (Kaburea).
Kepedihan dan duka lara komunitas Toto Tanarea terkait penjajahan Belanda diungkapkan dengan jelas dalam baka-cenda (puisi adat) bertajuk “Buu Bholo Moo” Dalam bagian akhir puisi itu tertulis: “Daju nuka nanga. Kapa nu mai, wua ata laki, ada fai pisu kasi” (when) the steamship si arriving. (It comes) to take men aboard. (And Then) woman can only grumble) (Diambil dari Histroy of Flores/google.com)
Lebih dari itu, perjuangan tanah ulayat tidak boleh berhenti pada urusan tapal batas. Mereka harus mulai merumuskan pemanfaatan tanah secara optimal sebagai cara baru dalam teritorialisasi yang menopang identitas lokal dan ada istiadat melalui akumulasi modal secara optimal dalam upaya menghadapi berbagai kontradiksi kapitalisme global.
Untuk hal itu, komunitas Toto boleh meniru komunitas Katu dalam perjuangan mendapatkan tanah mereka di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Claudia D’Andrea, Kopi, Adat dan Modal (Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, 2013). Semoga!!!
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian kedua),, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian kedua) ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian kedua) sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 6:46 PM
+ comments + 3 comments
Sebenarnya bahwa Sato joto bukan orang kaburea,tetapi orang dari hamente Bhoafeo
Pada pertehan abad 17 ( thn1630) wilayah persekutuan tanah dodo (zozo) sudah dibagi 2 wilayah yaitu : Tanah Jea dipimpin oleh NIPA SOZE dan Ute / Toto dipimpin oleh NIPA NDUA'..
Jaman sebelum koloni Belanda Kabirea itu merupakan wil persekutuan Bho'afeo dgn mosazaki Kabirangga..
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos