From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian pertama)

Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian pertama)

Written By Unknown on Friday, January 16, 2015 | 6:38 PM

Otokritik buat Masyarakat Toto Tanarea

Aksi 'baku potong' terjadi di tanah konflik, Madawitu, Selasa (13/1) siang. Peristiwa berdarah yang melibatkan komunitas Labo, khususnya warga yang mendiami Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa dan komunitas Toto, khususnya yang mendiami Desa Nata Toto, patut disesalkan, tapi sekaligus mengundang kita untuk mencermati persoalan secara lebih saksama.

Madawitu sekali lagi membenarkan hasil survei lembaga riset Median periode Januari-Februari 2013 di Nagekeo bahwa konflik tanah menempati urutan paling atas (36,6 persen) sebagai persoalan yang paling mendesak untuk diselesaikan di kabupaten ini.

Terbengkelainya pembangunan bandara, pembangunan kantor bupati, kasus perumahan Malasera merupakan persoalan yang selama ini menghambat laju dinamika pembangunan Mbay sebagai Ibu Kota. Belum termasuk konflik kecil-kecil di sejumlah kampung yang luput dari perhatian media dan publik Nagekeo.

Salah satu konflik tanah paling mutakhir adalah kasus tanah Madawitu yang diperebutkan antara komunitas Toto dan Labo yang pada pekan ini menuai ‘baku bunuh’ dengan korban bersimbah darah.

MENCERMATI BABHO

Dari awal kita menaruh harapan ketika Pemda Nagekeo menawarkan diri menjadi fasilitator dengan memulai dialog adat yang dikenal dengan babho yang secara intensif mulai dilakukan awal tahun lalu.

Hanya saja dari pengamatan saya, Pemda tidak menjalankan peran ini secara maksimal, sehingga memberi peluang konflik itu terus berakselerasi.

Saya perlihatkan beberapa indikator yang menguatkan penilaian saya di atas. Pertama, ketika kedua masyarakat sedang terbelenggu konflik, Pemda melalui surat yang ditandatangani Bupati pada 12 Mei 2014 mengeluarkan surat yang memperbolehkan warga Labolewa memanen padi di sawah yang bukan milik mereka.

Saat itu sejumlah masyarakat Toto sempat bereaksi agak keras dan menimbulkan konflik kendati tidak separah yang terjadi pekan ini. Beberapa dari mereka kemudian ditangkap dan ditahan kepolisian di Bajawa.

Mestinya, dimana-mana, ketika tanah itu disengketakan dan sedang dalam meja perundingan, untuk sementara tanah dijadikan status quo.

Kedua, kegagapan Pemda dalam babho, terutama ketika harus mendalami dan menafsirkan catatan sejarah yang berujung pada konklusi yang lemah dan rekomendasi yang mengambang.

Sejarah Labo diawali dengan pekikan bhea sa: "ulu bebu lowe, eko tata naya." Pekikan ini harus dikonfrontasi dengan pekikan balik dari pihak Toto: ulu Kebi Nuba, eko Lego Labo. (bdk Isi babho pada 21 Januari 2014 dan Acara Saling Tanggap pada 27 Januari 2014)

Bhea-bhea kedua pihak ini harus diperiksa dengan saksama. Kapan bhea ini dimulai, siapa yang melakukan dan atas peristiwa apa bhea ini dilakukan?

Bagi orang Toto, bhea ini warisan dari masa kedua bersaudara, Digo dan Ratja yang menjadi patriarkh komunitas itu. (Daniel Dhakidae, 2011)

Digi dan Ratja memasuki wilayah itu melalui peperangan dengan penguasa setempat, Bhie Anawanda yang dibantu oleh sekutunya Bheda Wani. ( Abraham Runga. 2014)

Digo dan Ratja menang. Maka dibentuklah tanah persekutuan dengan dua tugu peo laka utama, untuk Digo dan turunannya di Oda Pudu, dan Ratja di Ondorea.

Batas tanah persekutuan adalah Utara Laut Flores, Selatan Laut Sawu. Timur berbatasan Tana Kebi (sekarang Desa Kebirangga di utara) dan Numba (selatan), Barat dengan Lego (utara) Labo (sekarang Desa Labo Lewa) dan Paro Ree (Nangaroro). (Bdk, Domi Djuma Pani Pesa, dalam Uraian Singkat Mengenai Tanah Pesekutuan Tanah Rhea, 1979 dan wawancara penulis dengan Meus Bha dan Paulus Pio Digo.)

Titik-titik perlintasannya adalah pada sebelah Barat dari Utara ke Selatan: Nage Lewa-Dhangi Tana, Wolo Pau, Phoa Keka-Dowo Dapho, Boa Nai, Watu-Paro Ree. Pada sebelah Timur dari utara ke selatan: Nanga Nio Niba, Kota Kadhe, Goa Poka, Ngi'I Bela, Lange Tana, Kedi Watu Manu, Seararo, Keka, Rere Nggase dan Rate Rengge dekat kampung Basa Numba.

Batas-batas ini yang kemudian diambil oleh Belanda---dan dibuatkan peta---ketika Tana Rea dijadikan swapraja tersendiri.

Maka keliru jika dalam rekomendasi dan kesimpulannya --- membenarkan Madawitu sebagai milik orang Toto---, Pemda hanya mendasarkan itu hanya pada penetapan oleh otoritas pemerintahan Belanda dengan peta-petanya (Bdk Poin b Kesimpulan Pemda).

Jauh sebelum Belanda datang, demikian dalam narasi orang Toto Tanarea, Madawitu sudah menjadi bagian yang sah dari Tana Toto sejak era Digo Wigho-Ratja Kana. Peta Belanda hanya menguatkan fakta historis.

Pengakuan tanah ulayat Toto oleh Pemda yang hanya didasarkan pada peta Belanda memberi kesan bahwa Madawitu merupakan tanah Labo yang kemudian dimasukkan Belanda ke dalam tanah ulayat Toto Tanarea.

Di pihak lain, Pemda dalam draf rekomendasi awal maupun final menyimpulkan bahwa berdasarkan fakta kultural melalui dua tokoh Labo, yaitu Poma Doka dan Ngope Wawo, tanah itu adalah milik orang Labo Lewa. Sekaligus dengan pendasaran lain, pendirian peo (bdk. Poin a Kesimpulan Pemda Nagekeo).

Mestinya, kalau sedikit lebih cerdas, Pemda dalam babho tersebut menukik lebih dalam untuk menggali dua persoalan tersebut. Pertama, benarkah Belanda mendasarkan perbatasan swapraja Tana Rea berdasarkan tanah ulayat mereka? Caranya adalah dengan memeriksa pembagian dan pembatasan kerajaan-kerajaan di Flores yang lain.

Pernahkah wilayah kerajaan Riung ditetapkan Belanda dengan memasukan tanah ulayat Ngada, atau apakah swapraja Nage atau Keo (atau kemudian Nagekeo) dibuat dengan memasukan tanah ulayat Ngada atau Ende?

Tentu kecuali ketika Belanda memiliki maksud lain ketika memecah Toto -Tana Rea untuk melemahkan perlawanan yang dimotori oleh Nipado dan Kepabiu (Daniel Dhakidae 2011) dan memasukan ke dalam tiga wilayah lain, yaitu Ende, Nagekeo dan Lio.

Selain itu, pengecekan bisa dilakukan dengan mencari informasi apakah bhea atau pengakuan tanah Toto-Tana Rea sudah pernah dipakai sebelum kedatangan Belanda, termasuk melalui pengetahuan dari komunitas tetangga yang mendengar dari nenek moyang mereka terkait kepemilikan tanah itu.

Di sini pentingnya menghadirkan kesaksian dari tua-tua adat dari komunitas-komunitas tetangga. Seperti diketahui pada saat menghadirkan saksi pada 3 Februari 2014, hanya pihak Toto yang membawa saksi dari Ndora, Rendu dan Lape. Dalam kesaksiannya, mereka tegas menyatakan kalau mereka bekerja di kawasan itu atas persetujuan Bani Nipa dan Rae Nipa.

Sementara dari pihak Labo hanya mendatang 3 saksi dari kalangan internal mereka yang memberi kesaksian bahwa mereka bekerja di dataran Madawitu , tapi tidak membayar kepada pihak mana pun.

Bahkan, mestinya pendapat dari para tua adat Boawae yang nenek moyang mereka pernah menjadi kepala swapraja Nagekeo---dimana Toto dan Labo berada di dalamnya---bisa dimintakan pertimbangan karena nenek moyang merekalah yang mengurusi administrasi, termasuk batas-batas wilayah suku saat itu.

Kedua, pencarian lebih lanjut identitas dua tokoh historis yang dikedepankan oleh masyarakat Labolewa, yaitu Poma Laka dan Ngope Wawo sebagai nenek moyang pionir Labolewa yang mendiami dan bekerja di kawasan yang diperebutkan. Kehadiran Poma Laka dan Ngope Wawo yang dinarasikan oleh masyarakat Labolewa sangat meyakinkan sehingga menjadi dasar oleh Pemda untuk mengakui bahwa Madawitu secara kultural adalah milik Labolewa. (bdk Poin (a) Rekomendasi dan Kesimpulan Pemda)

Dalam proses babho narasi tentang kedua tokoh historis ini tidak pernah dikonfrontasikan oleh pihak Pemda dengan pengetahuan orang Toto. Padahal, menurut Paulus Pio Digo (wawancara penulis) dan Alo Bisara (ketua adat suku Soy dalam catatannya bertajuk Tanggapan Kesimpulan Tim Babho dan Rekoemdnasi Tim Babho kepada Bupati) dan sejumlah tua adat yang lain, dua nama itu juga dikenal secara baik dalam masyarakat Toto.

Bagi masyarakat Toto, Poma-Laka adalah salah satu suku di Toto yang berperang melawan Digo-Ratja. Berdasarkan ingatan kolektif orang Toto, mereka dikalahkan oleh kedua bersaudara Digo dan Raja Sebagaimana perjanjian waktu itu, orang yang kalah perang tidak berhak lagi atas tanah asalnya. Sebagian orang Poma hijrah ke Soa dan Riung.

Sedangkan Ngope-Wawo adalah dua bersaudara Ngope Sobha dan Wawo Sobha yang adalah leluhur orang Toto dari Suku Pobho. Dari keturunan mereka itu kemudian muncul Daja Dhosa, Boro Dhosa dan Posu Dhosa yang hidup di zaman Nipa Do dan turut bertempur dalam perang Watuapi.

Termasuk, mesti diskusikan secara serius dalam babho apa maksud pembelisan peo Bu’e Rebu dan peo Nago Rado, seperti dinarasikan oleh komunitas Labo, yang dirikan anak cucu Poma Laka dan Ngope Wawo dan dibeliskan kepada orang tua Papu Senda dan dibalaskan oleh Papu Senda. Papu Senda adalah orang tua Paulus Pio Digo yang bersama Bartolomeu Bha saat ini memimpin rombongan tua ada Toto dalam perkara tapal batas.

Sebelum pertanyaan-pertanyaan terkait kedua persoalan pokok di atas dijawab secara tuntas, Pemda mestinya tidak bisa beranjak pada poin berikut dengan menyatakan: “sesuai substansi dalam poin (a) dan (b)...bahwa tanah daerah konflik mulai dari lingkar luar yang meliputi ...adalah tanah ulayat Toto (Bdk. Kesimpulan dan Rekomendasi Pemda, Poin (c)).

Kendati tidak melakukan penolakan, sebagian tetua adat Toto menerima rumusan itu dalam keraguan karena melihat pertentangan pada poin (a) dan (b).

Poin-poin kesimpulan berlanjut. Pada poin (d) dikatakan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh pihak Labo tidak boleh diambil dalam cara apa pun oleh orang Toto. Pada poin (e), seluruh tanah potensial yang belum dikekola diatur dan oleh lembaga adat Toto untuk kebaikan bersama.

Pada poin berikut (f) kedua komunitas diperbolehkan melaksanakan seremonial adat tanpa saling menggangu. Lalu keputusan dari Poin (c) hingga (f) bersifat mengikat dan pemerintah akan bertindak tegas bila ada yang melanggar (g), dan memberi kesempatan kepada pihak yang tidak setuju untuk melakukan protes dalam tempo 30 hari sejak 18 Juli 2014 (h). Dan kalau menyetujui, maka harus ditindaklanjuti oleh kedua pranata adat tersebut. (i).

Demikian keputusan yang ditandatangani pada tanggal 18 Juli 2014. Tampak dari poin-poin di atas, proses dialog (baca: babho) sudah mendekati final. Hanya saja, selain kerancuan pada poin (a) dan (b), terdapat persoalan lain terkait tenggat waktu (deadline).

Ketika, tenggat waktu (30 hari) berakhir, beberapa tetua adat Toto bertanya, apa yang harus dilakukan sekarang? Mereka beberapa kali menghadap Bupati dan meminta Bupati segera meneguhkan kesimpulan dan keputusan dengan sebuah SK secara formal.

Penantian SK cukup lama. Masyarakat Toto sudah terlanjur membunuh kerbau pada 9 Januari 2015 dan menjadikan darahnya sebagai tanda bahwa Madawitu tetap dalam cakupan tanah ulayat mereka. Hanya SK tetap belum keluar, setelah ratusan hari melewati batas 18 Juli. Mengapa berlarut-larut? Pertanyaan yang mesti diarahkan kepada Pemda, dalam hal ini Bupati Kepala Daerah Nagekeo.

Dalam kebingungan dan ketidakpastian, kedua pihak tidak menahan diri, orang Lambo mulai bekerja lagi di lahan konflik yang diikuti larangan dari pihak Toto. Itulah situasi yang mengarah pada pecahnya peristiwa naas tersebut.

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian pertama),, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian pertama) ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Abraham Runga Mali: Ketika 'Babho' Tak Lagi Bertuah (bagian pertama) sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 6:38 PM
Share this post :

+ comments + 1 comments

April 14, 2020 at 12:24 AM

Trima kasih banyak om

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger