Oleh Primus Dorimulu
Jelang pemilu Pilkada Nagekeo, NTT, ada segelintir orang mengangkat isu feodalisme. Mereka bilang, "Si X, tidak layak menjadi bupati karena bermental feodal."
Bagus juga isu ini diangkat selama maknanya diletakkan dalam pengertian dan konteks yang benar. Tapi, celaka bila kata feodal hanya ditiupkan untuk menjatuhkan calon tertentu. Feodal menjadi stigma yang dipakai untuk mematikan langkah pihak yang tidak disukai.
Makna feodal acap direduksi menjadi sekadar orang yang berpenampilan aristokrat. Gagah dan anggun. Atau orang yang sangat kuat dalam menyampaikan argumentasi. Apalagi figur yang bernampilan fisik aristokrat sekaligus terdidik, cerdas, dan tidak mudah didikte pihak mana pun. Orang seperti ini langsung diberikan stigma feodal.
Maklum, feodalisme dalam sejarah peradaban manusia sudah digusur oleh demokrasi. Angin kebebasan sudah bertiup kencang ke seluruh penjuru dunia. Meruntuhkan arogansi para raja dan bangsawan yang mendukungnya. Menghancurkan pemerintahan monarkhi absolut. Merobohkan tembok Berlin. Memporakporandakan Republik Uni Soviet. Menjungkal pemerintahan otoriter.
Jarum jam peradaban tak sudi diputar lagi ke belakang. Rakyat sudah menggandrungi demokrasi dan kebebasan sebagai landasan demokrasi. Di alam demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyat yang menentukan wakilnya di DPRD II, DPRD I, dan DPR RI. Rakyat yang menentukan bupati, walikota, gubernur, dan presiden.
Dalam demokrasi, setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin di berbagai level. Setiap orang, apa pun latar belakangnya, memiliki hak yang sama untuk menjadi anggota dewan, dan menduduki jabatan apa saja. Demokrasi memastikan bahwa darah setiap orang sama merahnya. Tidak ada darah biru atau darah coklat. Setiap orang sama di hadapan hukum. Yang membedakan orang hanyalah peran.
Ada tiga pengertian feodalisme. Pertama, sistem sosial atau politik yg memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Kedua, sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja. Ketiga, sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Feodalisme sempat berkembang di Indonesia pada masa Hindia Belanda. Kumpeni mengangkat raja dan pangeran. Mereka habis-habisan dilayani. Rakyat membayar upeti dan mereka bisa berbuat seenak mereka terhadap rakyatnya, termasuk menindas rakyatnya. diberikan keistimewaan. Mereka memiliki hulubalang dalam jumlah besar untuk mengawal, ke mana pun mereka pergi.
Regenerasi kepemimpinan tidak datang dari luar keluarga Istana Raja dan Pangeran. Mereka berkuasa turun-temurun. Ada hukum, tapi hukum tunduk pada keputusan raja. Rakyat tidak punya peluang menjadi pemimpin karena darahnya merah.
Pemimpin adalah jatah mereka yang berdarah biru. Yang berdarah coklat cukup menjadi pegawai.
Ciri-ciri pemimpin bermental feodalistik sebagai berikut.
Pertama, tidak mau diberitahu yang benar, apalagi dikritik. Mereka memusuhi dan membenci orang yang mengritik.
Kedua, tidak memperjuangkan kepentingan rakyat atau orang yang dipimpin. Mereka hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Ketiga, yang dipikirkan adalah kekuasaan dan bagaimana melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Keempat, bermental korup. Bagi mereka, mengambil uang rakyat adalah halal. Mereka berusaha menopang kewibawaan dengan kekayaan meski itu hasil korupsi.
Kelima, selalu ingin dilayani. Orang lain harus bekerja untuk mereka. Ke mana pun mereka pergi, selalu ada hulubalang.
Keenam, mereka umumnya lebih nyaman di menara gading. Tidak turun ke bawah, mengenal rakyat. Mereka dikelilingi oleh para penjilat yang hanya memberikan laporan "ABS" atau asal Bapak senang.
Pemimpin demokratis dan pemimpin efektif persis berseberangan dengan pemimpin feodal.
Pertama, menerima masukan dari rakyat dan tidak takut dikritik. Mereka bahkan minta feedback dari rakyat dan segera memberikan respons. Mereka tidak takut dikritik, apalagi kritik yang disertai saran. Setiap kebijakan penting didahului oleh uji publik.
Kedua, mereka menyadari sepenuhnya hak rakyat pemilih. Rakyat memilih mereka untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri dan kelompok.
Ketiga, yang dipikirkan adalah kepentingan rakyat, khususnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang terbaik bagi rakyat itulah yang diperjuangkan.
Keempat, menghindari korupsi dengan mengimplementasi keterbukaan, kejujuran, akuntabilitas, tanggung jawab, dan kesetaraan.
Kelima, mereka bukan orang yang suka dilayani, melainkan justru figur yang gemar melayani, apalagi untuk kepentingan rakyat. Jika tidak menjadi standard operating prosedure (SOP) lembaga, mereka takkan mau ada pengawal lebih dari satu.
Keenam, mereka rajin turun ke bawah untuk lebih mengenal rakyat. Mereka berusaha mendapatkan informasi langsung dari rakyat.
Itulah sekilas tentang feodalisme dan sikap pemimpin yang feodalistik. Sehari-hari kita bisa lihat rekan, kenalan, atau saudara kita yang punya sikap feodalistik. Sebaliknya, kita juga melihat rekan, kenalan, atau saudara kita yang punya sikap demokratis.
Selamat sukses. Salam.
Pd
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Pemimpin Feodalistik, Siapa Itu?,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Pemimpin Feodalistik, Siapa Itu? ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Pemimpin Feodalistik, Siapa Itu? sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 5:25 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos