Oleh: Ansy Lema
Catatan Debat Cagub/Cawagub NTT
Debat pasangan Cagub/Cawagub NTT telah usai digelar. Beragam komentar muncul pasca pagelaran itu. Banyak yang beri apresiasi, ada pula yang mencibir. Lumrah, sebuah tayangan televisi direspon beragam. Tergantung perspektif pemirsa.
Pemirsa berkuasa penuh memutuskan, apakah suatu tayangan televisi layak ditonton atau tidak. Jika suatu mata acara bagus, maka akan terus dipelototi, tapi jika buruk, channel televisi dengan mudah beralih.
Idealnya, debat mesti argumentatif, ilmiah, elaboratif, dan ada kontes gagasan di dalamnya. Substansi adalah panglima dalam debat. Debat juga diharapkan bisa memunculkan solusi. Namun, ketika debat politik dikemas menjadi sebuah tayangan televisi, tidak mudah mentransformasi kultur ilmiah-akademis ala kampus ke layar televisi. Apalagi, partisipan debat adalah para politisi dan birokrat, bukannya para akademisi.
Layar kerap kali kejam, kamera juga bisa "mengintimidasi" partisipan debat, hingga mereka yang garang sekalipun bisa terlihat seperti ayam sayur yang demam panggung. Karena itu, bicara di depan kamera jelas berbeda dengan berdebat di ruang kuliah. Apalagi, jika partisipannya tak terbiasa membaca, menulis apalagi berdebat. Tak mudah melihat partisipan bertanya dan berdebat. Butuh kepiawaian untuk itu.
Sebagai seorang Dosen, saya tentu menilai debat televisi tak banyak yang berkualitas, bahkan jauh dari kesan intelek.
Naluri dosen saya bisa saja berontak protes karena dahaga intelektual tak terpuaskan. Tapi sebagai seorang praktisi televisi, saya mesti sadar bahwa merancang sebuah tayangan yang baik, menarik dan layak ditonton, setidaknya perlu memenuhi tiga kriteria, yakni mendidik, memberi informasi dan menghibur.
Tiga hal ini penting karena segmentasi pemirsa debat cagub/cawagub NTT beragam. Yang pasti, yang menonton debat kemarin, tak hanya Guru Besar, birokrat, pengusaha atau anak kuliahan, tapi juga nelayan, petani, bahkan ABG. Maka, pesan edukatif mesti disampaikan secara kontekstual, dalam arti bisa dicerna beragam kelas pemirsa.
Metode penyampaiannya pun sebaiknya menghibur sehingga orang tertarik menontonnya. Kontestan tidak saja dituntut mampu berkomunikasi dengan kontestan lain, tapi sebaiknya juga bisa berinteraksi dengan pemirsa dan audiens. Bahasanya pun sebaiknya bersifat populer, disampaikan secara bertutur, namun tetap mengedepankan substansi. Sehingga, walau ada kesan jenaka, jurnalisme televisi tidak boleh beralih dari jurnalisme substansi ke jurnalisme sensasi.
Mungkin beberapa pelajaran demokrasi bisa kita petik dari debat kemarin ketika ada kandidat yang menyatakan, "Dalam politik kita berkompetisi, tapi dalam Tuhan kita bersaudara". Pesan ini mengajarkan pada kita bahwa berbeda secara politik tidak lantas memutus relasi manusiawi antar-kandidat.
Atau, calon lain yang menyatakan, "Setia pada hal kecil adalah penting, sebelum mengerjakan hal besar". Maknanya tentu dalam karena mengajarkan tentang pentingnya loyalitas pada tanggung jawab yang diemban. Berkomitmen pada tanggung jawab, dan bertanggung jawab pada komitmen. Atau kandidat lain yang menyatakan bahwa peran Gubernur/Wakil Gubernur baru bermakna jika mampu memberikan solusi pada NTT, bukan semata berjanji.
Pidato mesti diucapkan lewat kerja nyata. Bukankah semua pesan ini bermanfaat bagi proses pendewasaan demokrasi di NTT?
Mungkin ekspektasi kita terhadap debat yang ideal tidak tercapai, tapi setidaknya melalui lima pasangan calon, kita bisa belajar perihal bagaimana bersaing secara sehat dan bermartabat. Dan itu adalah esensi demokrasi.***
Arost Woda: Sangat bermanfaat buat kami di kab. walaupun cuma 1.5 jam tayang tapi su dapt gambaran paket mana yang layak didukung...mantap ansy...
Ronaldus Fansy Dhada: Kae, Karena demam panggung kebanyakan kandidat lebih fokus pada acting tapi lupa substansi dari visi misinya, lebih banyak dialektika saja. Tapi apapun itu sebuah langkah maju kae dan rekan2 dalam usaha memajukan NTT.
Fridus Mei Rm: Langkah maju buat KPUD NTT yg telah bekerja sama dengan TVRI dalam debat kandindat Cagub. Meskipun ada jg yg grogi dalam menjawab pertanyaan bung Ansy dan Ina, namun jawaban beberapa kandidat cukup bernas dan baik. Kita harapkan partisipasi wrga NTT untuk dapat menggunakan hak pilihnya.
Marlin Bato: Habis nonton debat kandidat pilgub NTT. Kalau dicerna sepintas, tersirat, THOTAL "Egois lebe bae", CHRISTAL pengalaman melebur kota kecil, TUNAS hny mengajak pemilih muda, yg tua diabaikan. BKH - Solusi menambah keterpurukan, FRENLY mabuk anggur merah. hahahhahahahha...........
Martin Theodore: Ada suatu statement yg sangat polos. Dimana salah satu pasangan Cagub/Cawagub, memaparkan PAD tahun lalu kurang lebih 180 miliar, dan meningkat menjadi kurang lebih 400 miliar. Sejarah mencatat hari ini, setelah 50 tahun lebih, bahwa kriteria kemiskinan prov. NTT tampak dalam PAD yang jauh lebih kecil dari provinsi-provinsi lain di Indonesia (Misalnya Kaltim, Jatim) yang memiliki PAD diatas 100 triliun. Kriteria lain, di daerah lain debat calon bupati atau calon gubernur bisa diatayangkan melalu TV swasta, sementara di NTT hanya menggunakan TV Nasional (harga lebih murah). Kriteria lain, dari 5 calon Gub/Cawagub NTT, tidak satupun yang mampu memasang iklan di media Televisi. Inilah tanda-tanda yang me-warning bahwa jangan hanya bertele-tele pada teori, NTT butuh pemimpin dan masyarakat yang langsung pada ACTION, Konsen pada EKONOMI. Dimana-mana bahkan sampai ke sum-sum tulang orang berbicara politik tapi sedikit orang yang membicarakan ekonomi.
Clemente Florez: ka'e..Debat kandidat tadi mnrt sy hanya habiskn duit rakyat aja.Para kandidat tdk berani mengeluarkn statement ato gebrakan bahwa akan mencegah dan memberantas praktek korupsi yg saat ini merajalela di NTT,dan jg pemaparan visi dan misi biasa-biasa aja,palingan soal penolakan tambang..
Firmina Dae Bha: BKH-Nope.......luar biasa menyedihkan kata2 awalnya.....NTT sbgai provinsi dgn segala "ter" yg tdk baik......masa iya.......buktinya kalau ada diklat atau bimtek di jakarta,org ntt bisa bersaing dgn peserta dr daerah lain.....parah juga e.......calon pemimpin hrs membawa kesejukan,apa benar ntt tdk ada sesuatu yg bisa dibanggakan?
Jci Ignasius Ganur Suradin: Berikut penilaian saya soal penilaian saya soal debat calon kades NTT @ TVRI:
1. Esthon-Paul: humoris
2. Tunas: serius
3. Crystal: santai dan bernas
4. Frenly: bijaksana tapi rakus karena wakil tak pernah dikasih kesempatan bicara.
5. BKH-Nope: cebana rang, cebana kerok. Dion rei, dion walen.
Jci Ignasius Ganur Suradin: Sedang menonton debat calon kades untuk propinsi NTT di TVRI. Sangat sedikit program yang menjawab kebutuhan masyarakat NTT. Jadi, angguk-angguk saja seolah-olah mengerti hahhaaha. Kendati BKH mengatakan NTT adalah propinsi termiskin dan terbelakang, tetapi sesungguhnya dia adalah macan yang ditidurin (bukan tertidur). Tabe mane lawa!! Saya tidak pilih siapa-siapa. Tapi saya suka Crystal dan Frenly. Bukan saja karena pola komunikasi, cerdas tetapi juga berpengalaman. Memang semuanya penjual pepesan kosong tapi kita harus memilih terbaik di antara terburuk!! Tabe
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Debat di Televisi: Tidak banyak yang berkualitas,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Debat di Televisi: Tidak banyak yang berkualitas ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Debat di Televisi: Tidak banyak yang berkualitas sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 9:26 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos