Primus Dorimulu |
Kasus hukum yang selama ini diproses dilihat sebagai upaya mematahkan sayap partai yang dinilai rival berat pada pemilu legislatif 2014. Proses hukum tindak pidana korupsi yang dianggap tebang pilih itu dirasakan tidak adil. Sejumlah anggota DPR yang divonis bersalah dalam kasus cek pelawat untuk menyukseskan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda S Gultom dinilai sebagai korban politik. Kasus Century diangkat lawan politik untuk menyerang balik partai berkuasa. Sambil mencermati proses hukum yang dijalankan Muhammad Narazarudin, mantan bendaha umum Partai Demokrat, sejumlah kasus hukum kini dipersiapkan untuk menyandra lawan politik.
Sejumlah RUU Politik yang sedang dan akan dinahas di Senayan bakal dimanfaatkan parpol besar untuk memperkuat posisi seraya mendepak partai menengah dan kecil. Dalam RUU Legislatif yang masih dalam proses pembahasan, parliament threshold bakal dinaikkan dari 2,5% ke level 3% hingga 4%. Parpol besar di luar Demokrat condong memilh ambang batas 4% agar jumlah partai yang memiliki wakil di Senayan tidak lagi 9 seperti sekarang, melainkan maksimal 5 partai. Partai menengah kecil sepeti PAN, PKB, dan PPP kini tengah menggalang kekuatan untuk melawan.
Situasi ini dikhawatirkan memicu perpecahan di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Sekretariat Gabungan (Setgab) yang terdiri atas enam partai koalisi bakal pecah kongsi dan membuat pemerintahan tidak efektif. Bila bukan tahun ini, selambatnya kuartal pertama tahun 2013, sejumlah menteri anggoa Setgab yang juga ketua umum partai, akan lebih memberikan perhatian lebih besar bagi pemenangan pileg dan pilpres 2014. Kepentingan rakyat terabaikan. Elite politik lebih mengutamakan kepentingan partai dan kelompok.
Agak terlalu cepat elite politik mempersiapkan suksesi kepemimpinan mengingat pemerintahan ini baru memasuki tahun ketiga. Tapi, itulah gambaran buram yang bakal terjadi. Sejumlah faktor mendorong para aktor politik dan parpol untuk segera bertarung mulai tahun ini. Pada pilpres 2014, Presiden SBY tidak bisa tampil lagi sebagai capres. Golkar dan PDIP, dua partai besar yang pernah berjaya di masa lalu berjuang untuk kembali menjadi yang terbesar. Dalam pada itu, partai kecil dan menengah berupaya meniru success story Partai Demokrat pada pileg 2009.
Apa pun manuver parpol dan elite politik, rakyat hanya mengharapkan sebuah perubahan substanstif dan perubahan substantif itu hanya bisa diwujudkan oleh pemimpin transformatif. Pemilu legislaif tidak sekadar perlombaan parpol untuk menjadi yang terbesar. Pemilihan presiden bukan hanya ajang pergantian R-1, melainkan perubahan kepemimpinan. Sebagai negara berkembang yang tengah menerapkan demokrasi, Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, pemimpin transformatif, yakni pemimpin yang mampu memimpin perubahan.
Selama 13 tahun reformasi, demokrasi yang dikembangkan tidak mampu menghasilkan pemimpin transformatif. Mayoritas pemimpin yang dihasilkan pemilihan langsung adalah pemimpin transaksional, pemimpin yang dimunculkan karena kekuatan transaksi, kekuatan uang. Untuk bisa menjadi calon bupati dan gubernur, kandidat harus membayar mahal kepada parpol. Setelah resmi menjadi calon, para kandidat harus merogoh kecok lebih dalam untuk membiayai kampanye.
Meski ada jalur independen bagi calon yang ingin menjadi bupati dan gubernur, jalur partai masih lebih unggul. Selain diharapkan ada dukungan mesin partai untuk pemenangan pilkada, gubernur dan bupati pemenang pilkada yang diusung parpol besar atau partai gabungan yang menguasai suara mayoritas di DPRD akan lebih tenang menjalankan roda pemerintahan. Program kerja mereka lebih mudah mendapatkan dukungan mayoritas suara anggota dewan.
Belum ada jalur independen bagi capres. Para calon hanya bisa diusung oleh parpol. Suka atau tidak suka kita terhadap parpol, itulah realitas politik. Sangat sulit bagi figur di luar parpol untuk menjadi kandidat capres. Tak satu pun parpol yang dengan jujur menyelenggarakan konvensi untuk menjaring bakal capres dari internal maupun dari luar partai. Calon pemimpin transformatif yang berada di luar dinding partai tidak akan mendapat kesempatan maju sebagai calon.
Dari intternal partai pun posisi capres menjadi "hak prerogatif" ketua umum. Lihatlaah partai besar dan menengah. Siapa capres dari Golkar, PDIP, dan PAN? Belum ada nama lain selain Abburzal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, dan Hatta Rajasa. Partai Demokrat kemungkinan mencalonkan Ani Yudhoyono meski hingga saat ini masih dibantah. Partai lain masih harus koalisi untuk memajukan calon. Sulit diharapkan figur baru dari kalangan yang lebih muda untuk tampil sebagai calon presiden. Posisi ini masih dikuasai sepenuhnya oleh ketua umum partai yang bukan lagi dari kalangan muda.
Demokrasi Prosedural
Di tengah kegaduhan politik, kita mengharapkan para anggota legislatif mengerjakan sesuatu yang besar untuk masa depan bangsa, yakni menghasilkan UU yang mampu mencegah demokrasi prosedural dan menghasilkan demokrasi substantif. Dalam demokrasi prosedural, semua proses dan prosedur demokrasi dipenuhi, misalnya ada pemilu, bahkan pemilihan langsung. Tapi, demokrasi jenis ini penuh dengan kebohongan. Demi meraih kemenangan, oknum petugas KPU dan KPUD disuap oleh kandidat dan rakyat pemilih diberikan uang. Sistem hukum kita yang banyak bolongnya dan aparat penegak hukum yang sudah tertular virs korupsi membuat berbagai kecurangan pemilu sulit dibongkar.
Demokrasi artifisial menghasilkan pemimpin transaksional. Untuk mendapatkan "kendaraan", kandidat diharuskan membayar mahal kepada pimpinan partai. Setelah mendapatkan partai, kandidat masih menyediakan dana dalam jumlah besar untuk biaya kampanye dan money politics untuk merebut hati pemilih. Saat menjabat, sang pemimpin harus bekerja kreatif untuk mengembalikan biaya kampanye, termasuk mengembalikan dana para sponsor. Bukan kepentigan rakyat yang diprioritaskan, melainkan kepentingan cukong yang membiayai.
Pemimpin transaksional bertebaran di seluruh penjuru Tanah Air. Dengan gaji resmi Rp 7,5 juta, plus-plus hingga Rp 20 juta sebulan, seorang bupati harus mengembalikan biaya kampanye Rp 5 miliar-Rp 10 miliar. Bekerja hingga empat periode pun, biaya kampanye Rp 5 miliar belum tuntas dikembalikan. Rendahnya kualitas infrastruktur di negeri ini merupakan dampak langsung dari proses politik transaksional.
Perlu sebuah mekanisme ketat yang dikuatkan dengan UU untuk menghasilkan pemimpin substansitif. Dalam merekrut calon bupati, gubernur, dan presiden, parpol tidak mempertimbangkan setoran dari kandidat, melainkan 100% berdasarkan integritas, kapabilitas, dan akseptibilitas. Jika memenuhi ketiga syarat utama ini dan hasil survei mendukung, partai bersedia merekrut calon terbaik tanpa mempersyaratkan setoran.
Saat kampanye, parpol mendukung penuh kandidatnya. Biaya kampanye pun dibuat murah. Ada regulasi yang memberikan kesempatan sama kepada semua parpol dan kandidat untuk menggunakan fasilitas negara -misalnya stadiun dan gedung-- untuk lokasi kampanye. Media massa milik pemerintah seperti TVRI dan RRI memberikan kesempatan sama kepada semua kandidat. Ada batas tertinggi pengeluaran untuk iklan kampanye di media massa.
Akan lebih baik lagi jika alokasi dana dari APBN untuk partai ditingkatkan berkala. Di Jerman, misalnya, partai dibiayai negara. Besaran dana dihitung per pemilih dan total biaya yang dikeluarkan sesuai plafon. Untuk mencegah moral hazard, partai wajib menyampaikan laporan keuangan setiap semester. Selama ini, sumber utama dana parpol adalah sumbangan dunia usaha dan kekayaan pribadi ketua umum serta bendahara umum. Korupsi di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI terkait erat dengan pendanaan partai. Tidak hran jika sejumlah parpol menempatkan bendahara umum di Banggar.
Perbaiki Payung Hukum
Tahun ini, DPR RI tengah membahas RUU Legislatif yang antara lain merumuskan tiga isu penting, yakni parliament threshold, daerah pemilihan, dan pemilu serentak. Selain itu, ada lima RUU Politik yang hendak dibahas, yakni RUU Pemilu Presiden, RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, RUU Pemilian Kepala Daerah, RUU Pemerintahan Daerah, dan RUU Desa.
Dua UU Politik yang disahkan tahun 2010 --UU Partai Politik dan UU Penyelenggara Pemilu-- perlu diamandemen lagi karena tidak menunjang terwujudnya demokrasi yang substantif. Dalam UU Parpol perlu dicantumkan lebih jelas sumber keuangan parpol. Naikkan kontribusi APBN terhadap partai dan berikan penekanan pada iuran anggota partai.
Sanksi terhadap parpol yang tidak akuntabel dan transparan diperberat. Parpol yang terlambat mempublikasikan laporan keuangan didenda dan yang tidak menyampaikan laporan keuangan tidak mendapatkan kucuran dana dari negara. Sedangkan parpol yang menyelewengkan dana dan melakukan pelanggaran berat menurut UU tidak diperkenan mengikuti pemilu pada periode berikut.
Pada UU Penyelenggara Pemilu, perlu dicantumkan tegas bahwa orang parpol yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh lagi menjadi anggota partai. Para anggota KPU seharusnya terdiri atas figur independen. Persyaratan untuk menjadi anggota KPU perlu lebih diperketat. Klausul paling penting dalan UU ini adalah kampanye pemilu yang murah di samping transparaan dan akuntabel.
Kenaikan parliament threshold (PT) harus menjadi keputusan dalam pembahasan RUU Legislatif yang ditargetkan rampung Maret 2012. Ini adalah kesempatan untuk menciutkan jumlah partai. Dengan menaikkan PT dari 2,5% ke 4% atau minimal 3,5%, jumlah partai yang masuk Senayan sangat boleh jadi tinggal 4 atau 5. Penciutan jumlah partai sejalan dengan rencana menaikkan anggaran dari negara untuk partai.
Isu penting lainnya dalam pembahasan RUU Legislatif adalah jadwal pileg. Kita mendukung saran pemerintah agar pemilu DPR RI, DPD, dan DPRD berjalan serentak meski hingga saat ini DPRD belum dianggap sebagai legislatif. DPRD menurut UU adalah bagian dari kelengkapan pemda. Posisi DPRD perlu diperjelas, apakah tetap seperti sekarang atau ditegaskan dalam UU sebagai bagian dari legislatif. Jika DPRD adalah legislatif, pemilihannya perlu bersamaan dengan pemilihan anggota DPR dan DPD.
Yang menarik adalah saran PDIP agar pilpres mendahului pileg. PDIP berpendapat, jadwal pemilu seperti selama ini rawan dagang sapi. Setelah partai pengusung kalah atau tidak menguasai mayoritas parlemen, presiden terpilih membuat koalisi seperti KIB II sekarang. Partai anggota koalisi semangat bergabung karena besarnya manfaat bagi partainya, bukan karena idealisme untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pilpres mendahului pileg tetap membuka koalisi, tapi koalisi akan lebih berbasis idealisme, bukan pertimbangan pragmatis.
RUU Pilpres dan RUU Pemilihan Kepala Daerah belum dibahas. Namun, hemat kita, penyelenggaraan pemilu harus efisien, transparan, bersih, dan efektif. Tidak membingungkan pemilih dengan banyaknya jumlah lembaran. Anggota dewan bisa menggunakan jasa para ahli membuat simulasi untuk mendapatkan solusi terbaik.
Demi efisiensi dan efektivitas pemerintahan, pemilihan langsung bukanlah bupati dan wali kota, melainkan gubernur. UU Otonomi Daerah perlu juga diamandemen agar letak otda bukanlah di kabupaten dan kota, melainkan di provinsi. Tidak perlu ada ketakutan akan munculnya gerakan pemisahan negara oleh provinsi yang menjadi alasan para perumus UU Otda awal 2000-an.
Otda di kabupaten membuat pemerintahan tidak efektif meski ada kabupaten dan kota yang bagus seperti Solo. Kondisi ini bakal diperburuk oleh wacana gubernur dipilih oleh DPRD. Saat ini saja gubernur kurang dianggap oleh para bupati, apalagi gubernur nantinya tidak dipilih langsung oleh rakyat. Bupati yang dipilih langsung oleh rakyat semakin tidak menghiraukan gubernur. Dari sisi manajemen, sinkronisasi program akan sulit dilakukan. Selain itu, SDM di propinsi jauh lebih siap dibanding kabupaten.
Yang jauh lebih penting untuk mewujudkan pemimpin transformatif adalah penegasan dalam UU parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU Pemilihan Kepala Daerah bahwa partai tidak diperbolehkan meminta dan menerima sumbangan dari capres, cagub, dan cabup. Parpol yang melanggar UU tidak diperkenan mengikuti pemilu periode berikut dan dana sumbangan dari APBN dihentikan.
Mudah-mudahan tahun ini menjadi tahun penting bagi perumusan payung hukum untuk lahirnya pemimpin transformatif di berbagai level pada masa akan datang. Bola ada di Senayan.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Tahun Persiapan Pemimpin Transformatif,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Tahun Persiapan Pemimpin Transformatif ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Tahun Persiapan Pemimpin Transformatif sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 8:12 AM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos