From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Negara, Leviathan dan Boneka Barbie

Negara, Leviathan dan Boneka Barbie

Written By Unknown on Wednesday, January 25, 2012 | 8:06 AM

Oleh: Abraham Runga Mali

Abraham Runga Mali
Di forum ini (Facebook Nagekeo Bersatu), tema kekerasan dan korupsi adalah salah satu topik yang cukup sering disoroti. Diskusi pun kian menukik setelah dipantik kerusuhan Sape dan Mesuji.

Kehangatan diskusi itu mestinya mendorong kita untuk mencari jawaban atas tema-tema itu secara lebih serius.


Secara teoritis, renungan yang mendalam tentang tema di atas mestinya membawa kita sampai pada pertanyaan mendasar, masih adakah negara? Atau kalau masih ada, masih berperankah dia? Atau kalau masih berperan, seberapa besar peran yang dimainkannya?

Dalam perspektif politik, berbagai pendasaran telah dilakukan untuk memahami alasan keberadaan negara.

Salah satu pendasaran yang kuat adalah teori kontrak sosial. Rousseau, John Locke dan Thomas Hobbes adalah para pencetus teori itu.

Melalui kontrak sosial, 'warga sebagai kumpulan individu' sepakat membentuk sebuah institusi yang bernama 'negara' dan membiarkan institusi itu secara suka rela mengatur kehidupan mereka secara bersama-sama.

Hobbes misalnya dalam buku monumental Leviathan berangkat dari ketakutan manusia pada kematian. Menurut dia, manusia yang memiliki naluri seperti serigala (homo homini lupus) berpotensi untuk saling mencakar dan membunuh satu sama lain.

Karena itu melalui perjanjian antarwarga, atau yang disebut kontrak sosial, para 'manusia serigala' yang juga takut mati itu membentuk negara yang bisa mencegah 'saling bantai' di antara mereka.

Untuk bisa menjalankan perannya, Hobbes bahkan menganggap negara seperti Leviathan, sebuah monster buas yang bisa bertindak sewenang-wenang.

Lalu terjadilah demikian. Dalam sejarah negara bangsa, kita menyaksikan negara pernah tampil menjadi institusi yang kuat perkasa, bahkan di sejumlah tempat pada beberapa saat negara benar-benar menjadi monster yang menakutkan.

Negara menjadi sedemikian berdaulat dengan ditopang aparat yang kuat, bahkan cenderung bertindak semena-mena. Bila perlu, negara melakukan kekerasan yang disengaja.

Dalam perspektif sosiolog Max Weber, negara adalah pemilik 'the monopoly of the legitimate use of physical power'. Cuma negaralah yang memiliki otonomi melakukan kekerasan, yang lain tidak.

Monopoli 'berbuat kekerasan' tersebut diperlukan untuk menjaga kedaulautan negara dan ketertiban sosial.

Namun dalam masyarakat kapitalis saat ini, demikian Karl Marx, monopoli itu sudah diambialih. Terutama ketika kaum borjuis, para pemilik modal dengan kemampuan finansialnya sudah 'membeli negara'.

Negara yang sudah dicaplok, demikian Marx, tidak lebih menjadi sebuah panitia yang menjaga kepentingan kaum pemodal. Negara menjadi boneka.

Bahkan, saat pemodal begitu kuat, negara dan aparatnya menjadi demikian lembut dan menyenangkan bagi pemodal, mirip 'boneka barbie'di tangan para anak gadis belia.

Para pemodal yang memiki banyak uang bergerak kuat dan sistematis dengan teknik-teknik lobi yang canggih. Media dan ideologi dipaksakan untuk tunduk kepada mereka. Undang-undang distir untuk kepentingan mereka.

Makanya jangan heran kalau Senayan menjadi pasar, tempat mereka membeli idealisme para anggota parlemen dan menukarnya dengan kepentingan para pemilik modal.

Semoga pembaca masih ingat perjuangan para pengusaha terkait definisi rokok dan zat adiktif dalam Ayat (2) Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan.
Beberapa anggota parlemen yang sudah dibayar tanpa beban bersedia mencoret 'kata-kata' dari rumusan yang sudah disepakati. Sebuah bukti paling nyata kalau para pemodal merangsek jauh hingga urusan 'titik koma' dalam undang-undang.

Contoh lain adalah UU Penyiaran 2002 yang dibonsai hingga saat ini. Alasannya jelas, para konglomerat TV yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang tidak mau membuang uang untuk membentuk 'televisi jaringan' hingga ke daerah-daerah. Padahal, frekuensi itu adalah milik publik yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.

Para teorikus sosial seperti Charles Lindblom atau Noreena Hertz melukiskan dengan sangat baik perselingkuhan antara politisi dan pebisnis.

Kedatangan Globalisasi

Keadaan, kata Noreena, kian parah semenjak datangnya globalisasi. Negara yang semula sudah tunduk kepada para borujis lokal, kemudian 'diketuk kepalanya' oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Kasus Sape, Freeport dan Mesuji merupakan bukti paling mutahkir. Negara tidak lebih menjadi 'herder' bagi korporasi lokal dan multinasional (multinational corporation).

Dalam bukunya Silent Takeover, Noreena mengatakan bahwa bagi multinasional tak peduli apakah sebuah rezim itu ototriter atau demokratis, yang penting bagi mereka adalah keuntungan global. Bahkan, rezim yang demokratis itu merupakan santapan paling enak 'di atas meja makan mereka.'

Mereka, demikian Noreena, pada awalnya bersorak-sorak membiarkan rakyat memilih pemimpin mereka, tapi setelah terpilih, mereka akan memaksa bupati, gubernur dan presiden untuk menjadi 'panitia' yang mensukses pesta pora mereka.

Tak salah kalau ada yang berpendapat bahwa musuh kaum neoliberal adalah negara yang sering menghambat logika dan dinamika pasar. Inti pendapat mereka sama, kasih ruang yang sebesar-besarnya pada pasar, dan bagi negara, kasih dia ruang yang sesempit-sempitnya.

Mari kita dengar pengakuan Milton Fiedman, seorang tokoh neoliberal sejati dalam bukunya Capitalism and Freedom. Berikut bagian pernyataan yang paling sering dikutip ketika orang bicara hubungan antara pasar dan negara.

"What the market does is to reduce greatly the range of issues that mut be decided through political means, and thereby to minimize the extent to which goverment need participate in the game."

Situasi menjadi begitu runyam. Namun, belum cukup di sini. Ada satu lagi yang mesti diwapasdai, yaitu kejahatan yang terorganisir (crime organisation) seperti obat terlarang, perdagangan anak dan seterusnya. Mereka membuat negara kian terpojok tak berdaya ke sebuah ruangan gelap.

Ketika peran negara menjadi demikian terbatas, apa yang bisa kita buat? Mengeritik para pegawai negara? Sepertinya itu pekerjaan 'paling gampang' yang kalau tidak ditakar hanya akan mengumbar nafsu kedengkian semata.

Apalagi kalau cuma sekadar mengeritik negara di satu pihak, tetapi di pihak lain mengangkat para pengusaha setinggi langit. Itu pasti kesia-siaan yang dituai, mirip menggarami air laut di pesisir Tonggo atau Mbay.

Jadi yang benar, kalau mau bicara korupsi atau kekerasan saat ini harus melihat tali temali ketiga hal itu. Kita tidak bisa menghukum yang satu, lalu membiarkan yang lain.

Di depan mata kita terpapar sebuah persoalan amat besar. Merobohkan kapitalisme? Mestinya ya. Tapi itu berarti menabuh genderang revolusi. Di sana butuh para martir yang rela mengorbankan diri.

Kalau semangat kita cuma 'suam-suam' kuku, kuburkan ide revolusi itu bersamaan dengan memakamkan mimpi membuat Kebun Firdaus di Nagekeo.

Koreksi Internal

Atau kita menunggu saja koreksi internal paham kapitalisme yang menganut fundamentalisme pasar setelah mengalami berbagai krisis dan kegagalan yang terjadi di Eropa dan Amerika. Mudah-mudahan negara kembali menemukan perannya dan para pemodal mendapatkan tempat yang proporsional tanpa yang satu mendominasi yang lain.

Selain menunggu perubahan alamiah itu, lalu apa lagi? Tentu saja, masih ada jalan, kendati jangan menggantung harapan terlalu banyak (nanti harap-harap tertiarap).

Mari kita berusaha tak henti-henti membangun masyarakat madani (civil society), mendidik masyarakat kita supaya makin cerdas supaya tidak terlalu sering dibodohkan dan tidak terlalu 'rugi' kalau diperdayakan.

Mari membangun basis masyarakat adat yang kuat dan yang pintar berdagang (berbisnis). Masyarakat adat yang tidak hanya berdiri di atas nilai-nilai yang kuat, tapi juga bisa mengkapitalisasi modalnya sendiri.

Ajarilah mereka untuk membagi-bagi tanah dan aset mereka secara adil dan mensertifikasinya secara rapi. Karena hanya dengan itu mereka bisa punya akses ke perbankan.

Sadarkan mereka bahwa pantai yang indah dan rumah adat yang diwariskan turun temurun punya nilai ekonomis, tidak sekadar museum bersejarah yang mereka jaga pakai parang panjang.

Modal yang Mati

Mari kita ikuti ajakan Hernado De Soto dalam bukunya The Mistery of Capital (2000).

De Soto pernah berada di Indonesia dalam proses pencarian jawaban sebuah misteri besar mengapa modal mendapat atensi yang sangat besar di Barat, tetapi relatif kecil di negara-negara berkembang.

Pengalamannya dengan para petani Bali turut membantu De Soto menguak misteri besar itu. Saat berada 16 hari di Pulau Dewata, ekonom dari Peru itu bersama istrinya sempat berputar-putar di lahar pertanian di sana.

Dia mencatat bahwa para petani di sana, tentu seperti para petani miskin di Dunia Ketiga, termasuk Nagekeo, tidak memiliki informasi yang pasti soal batas tanahnya dan kepemilikannya secara jelas. Tapi, anjing-anjing mereka mengetahui hal itu.

Ketika berpindah dari lahan yang satu ke lahan yang lain, demikian De Soto, dia selalu disambut oleh gongongan anjing yang berbeda. Jadi, di Bali anjing lebih pintar dari manusia karena anjing-anjing itu lebih mampu membedakan kepemilikan tuannya masing-masing.

Dengan agak sinis dia menulis, “Therefore, all the information you need is in the hands of Indonesian dogs. So, get the Indonesian dogs organinized. And everybody understood itu.”

Apa yang ditemukan De Soto di Bali memperkuat tesisnya bahwa penduduk miskin di Dunia Ketiga dan penduduk di negara-negara komunis yang miskin itu sebenarnya memiliki harta benda berlimpah. Tapi sayang harta benda itu tidak memiliki nilai ekonomis.

Orang-orang miskin ini mengalami kendala besar bagaimana menjadikan aset dan kekayaannya itu sebagai modal. Kalau pun itu disebut modal, maka tumpukan harta itu adalah ‘modal yang mati’.

Modal mereka busuk, tak bisa dimanfaatkan untuk melipatgandakan lagi modal. Padahal, modal itu penggerak utama perekonomian dewasa ini.
Orang-orang miskin ini memiliki rumah, tapi mereka tentu tidak memiliki sertifikat yang kemudian bisa dijadikan agunan.

Mereka memiliki ternak dan hasil kebun, tetapi mereka tidak memiliki akses ke pasar untuk ditukarkannya menjadi uang. Mereka berkeringat dan berusaha, tetapi tidak memiliki perusahaan.

Edukasi itu harus terus dilakukan sambil pelan-pelan kita memilih pemimpin Nagekeo yang dari awal tidak coba-coba belajar bertransaksi---sekecil apa pun--dengan siapa pun, dengan partai, apalagi dengan pemodal.

Kalau para kandidat tidak bisa menarik jarak dengan pemodal dalam bentuk apapun tak usah maju sebagai pemimpin di Nagekeo, apalagi berlagak moralis dan anti korupsi. Karena kalau tidak, masyarakat akan kecewa dan kita akan bercerita tentang tema yang sama, yaitu pemimpin yang gagal dan kabupaten yang tertinggal.

Lalu yang tidak kalah penting munculkan lembaga-lembaga swadaya yang kuat dengan para aktivis yang berjuang tanpa rasa benci seperti Mohatma Gandhi. Karena para pemodal sangat suka 'membeli dan mengadu domba' para pejuang yang suka berperang dan gemar memaki-maki.

Karena dalam kalkulasi pemodal, lebih baik kelompok antarwarga berkelahi, daripada mereka yang kalah dan bersedih hati.

Dan kalau sesama warga berkelahi, jangan panggil negara, karena yang akan datang atau monster Leviathan atau boneka barbie.

Selamat Tahun Baru

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Negara, Leviathan dan Boneka Barbie,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Negara, Leviathan dan Boneka Barbie ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Negara, Leviathan dan Boneka Barbie sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 8:06 AM
Share this post :

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger