Cyrilus Bau Engo |
Dalam kegiatan pelatihan LPMD/LPMK, Kepala Desa, Lurah dan Aparat, Panitia minta saya untuk menyampaikan materi dengan topik “ Peran Budaya dalam Penyelenggaraan Pembangunan Desa dan Kelurahan”.
Untuk itu terlebih dahulu saya akan menyampaikan pengertian budaya. Setelah peserta memahami budaya barulah disampaikan tentang peranannya dalam proses pembangunan di desa dan kelurahan.
Pemahaman tentang budaya penting karena sebagai lembaga kemasyarakat yang bersama Kepala Desa merancang pembangunan yang pertisipatif perlu memahami budaya masyarakat sehingga tidak hanya merancang tetapi juga dapat menggerakkan masyarakat untu melakukan pembangunan partisipatif.
II. PENGERTIAN BUDAYA
Prof. Koentjaraningrat mengatakan bahwa budaya atau kebudayaaan berasal dari bahasa Sansekerta: budhayah, yaitu bentuk jamak dari “bhudi” atau budi atau akal. Dari asal kata ini, budaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan budi atau akal dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal dan budi tersebut.
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi mengartikan budaya sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Dengan demikian, budaya atau kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada batasnya. Ia mencakup berbagai dimensi kehidupan yang lahir sebagai hasil olah akal dan budi, mulai yang terkecil hingga yang terbesar; mulai dari tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah “Negara”
Penjelasan lain mengatakan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistim agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Dari berbagai pengertian di atas, setiap kelompok masyarakat memiliki budayanya sendiri. Orang Nagekeo, memiliki budaya sendiri yang berbeda dari budaya orang Ende/Lio, orang Ngada, orang Manggarai, orang Jawa, orang Barat dan lain-lain. Budaya masing-masing kelompok ini, sesuai dengan wilayahnya disebut juga budaya daerah. Dan sejak kita sepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, kita memiliki kebudayaan Nasional yang menurut Ki Hajar Dewantara adalah puncak-puncak kebudayaan Daerah.
Mari kita lihat bersama budaya kita di Nagekeo. Ketika berbicara dalam sarasehan dalam rangka ulang tahun Kabupaten Nagekeo yang ke-empat 8 Desember 2010, saya mengingatkan bahwa kita memiliki beberapa budaya positif seperti:
1. Budaya Gotong Royong: too jogho waga sama, bani papa kapi, tego papa leu.
2. Budaya Kerja Keras: ngaza moo muzi modhe, ngusa toni mula, wesi peni, ngana su, seda mane. Ngusa kungu bubu, logo una, ulu nana wunu, logo bala ko. Ngoo mae mo, ghawo mae bhalo
3. Budaya menghargai kesepakatan: sezu ne zebu zili, pata ne peka mena, ulu ne subhu, kage ne sabhe, ka ne tata, inu sene, sua ne mae tei, waga ne mae aka. Tii ne mona wiki, pati ne mona lai.
4. Budaya menghargai milik orang lain (bisa diartikan jangan mencuri atau disesuaikan dengan zaman adalah budaya anti korupsi): zeta ulu nugu, zale taga laga. Koo ata mae tolo ala, koo kapo mae tolo dao.
5. Budaya hidup hemat dan anjuran menabung: ngaza bo miu ne benu leu miu ne lewa, zebu mae siba ngelu, peka pau ngusa manga latu.
6. Budaya mengharga menyelesaikan persengketaan secara damai: ngaza nee gusu gasa gole gena, mai mosa ulu, mai laki eko, mai tiwo iku ena ngusu puu peo, babho walo pata moo tau tiba tana.
Pada waktu semiloka yang diadakan oleh ibu-ibu Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FORKAUB), tahun 2010, saya juga mengangkat tentang “buku gua nee wula dala imu”. Buku gua nee wula dala imu yang bisa diterjemahkan bahwa setiap peristiwa budaya/peristiwa adat ada waktunya. Peristiwa budaya/peristiwa adat menyangkut tiga aspek yaitu aspek ritual adat (pebe welu/bheka tena/fedhi legi), aspek upacara adat (dhuju nama) dan aspek pesta adat.
Peristiwa budaya menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia. Ada yang berkaitan dengan perjalanan hidup anak manusia, budaya kita mengatur sejak baru lahir – kao mau- (pemberian nama, air susu, cukur rambut dan lain-lain), pendewasaan (gedho logo, koa ngii), pergaulan muda mudi (dhegha madhi, moni neni, toda dadho), perkawinan adat – pasa wai laki weki- (tana ngale, dadho padha lodo teda, tula ulu wau muzi, beo sao, tu lama poza, tau ngawu, so nee topo woso, seli nee bhuja negi, tii tee pati lani), sampai dengan kematian- boka mata le e’e- (enga ku, tane moi, pamo lima bebha fu, geta dheda, bhuo wanga).
Peristiwa budaya yang berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam dimulai dari kota aca/woka ngema (persiapan lahan), poke joki (tanam), sewo (penyiangan), ze noa (pengendalian hama), poo sugi dan poo uta (syukur akan hasil yang mulai nampak), poo wete (syukur panen), keti pui (panen). Tumpang sari dan tumpang gilir sudah dikenal oleh nenek moyang kita dan diwariskan kepada kita. Dalam kebun kita pada zaman dahulu tanam tumbuh komoditinya lengkap: pae, holo, wete, wata, lenga, hobho, holo wolo, keo,hea, kula, tete, uwi kaju, fesa, uze jeka ko-o lipe, kate, ize, padu, muku ghili dhi. Dengan berbagai komoditi seperti ini, nenek moyang kita sudah menyadari ketahanan pangan. Belum lagi ada adat “pie ka bo”,dan “geki” mengajarkan kita untuk tidak makan hanya nasi saja tetapi ada saat kita tidak makan nasi atau jagung dari lumbung kita. Oleh kearifan ini, tidak ada rawan pangan. Kalau toh rawan pangan mereka bisa “tugu dhula, tetu leke, mo gae, sebe odo”. Dahulu tidak ada beras raskin.
Ada peristiwa budaya yang dilakukan secara tahunan seperti etu (tinju adat) dan deo tua. Pata sadhi yang didendang sepanjang malam adalah ceritera tentang proses pertumbuhan tanaman padi mulai dari “mai moni ana masi ae, uza mai wae tii gami pare”, sampai wole pali pebha bhia kenge wea dan keti sa reku bhia mega tegu”, sea lizu zeta mati ae uza, gase tana zale tau tela pae, keo nee koo holo bhia lelu lowo, pae nee koo wete bhia taba bene. Ada yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama seperti pogo peo (mendirikan tiang lambang pemersatu di tengah kampung), pa bhe (upacara potong kerbau), tau sa’o waja (buat rumah adat), tau bo heda (buat rumah penyimpanan tanduk kerbau milik beberapa suku). Ada kegiatan “toka boa ona ola nee pa toka sua”.
Peristiwa adat tidak dibuat setiap saat dan sesuka hati (buku gua nee wula dalai mu) tetapi ada waktunya sesuai dengan kalender adat yang sudah disepakati sejak dahulu kala. Kalender adat orang Nagekeo dihitung berdasarkan peredaran bulan sehingga ada tiga kelompok besar waktu berdasarkan peredaran bulan yaitu wula kesu (bulan baru muncul/bulan sabit), wula gili (bulan purnama) dan wula epa (bulan gelap). Selain itu juga ada perhitungan waktu berdasarkan aktifitas hidup manusia seperti wula kota woka (waktunya bekerja), wula poke joki (musim tanam), wula keti pui (waktu panen), wula seka ngoa (membersihkan kebun sesudah panen), wula moni neni (musim tontonan), wula teka kewo (mendirikan rumah), Wula to’a lako (berburu) dan kembali ke kota woka.
Para ahli mengatakan bahwa budaya mencakup dimensi kehidupan yang sangat luas mulai dari cara yang sederhana seperti cara makan. Orang Nagekeo memiliki tata cara makan yang akrab dan penuh kekeluargaan sehingga muncullah istilah “ka pebha paa, inu seba siku, ka papa fa inu papa pida”. Pada saat makan ada waktu penanaman nilai/pendidikan dengan adanya “ka pese inu tenu”. Coba bapa/ibu renungkan kata-kata “kao gajo pati pegha”. Ada nuansa kebersamaan, ada nuansa ada yang mengatur dan berbagi peran, ada nuansa keadilan. Bandingkan dengan cara makan kita sekarang di meja makan, dengan cara mengambil masing-masing. Bisa ada ingat diri, ada nuansa sendiri-sendiri.
Budaya kita mengenal sebutan mosalaki. Mosalaki berdasarkan stratifikasi masyarakat tradisional mengacu kepada status sebagai bangsawan. Namun, mosalaki juga menunjukkan kepada fungsi seseorang sebagai pemimpin perundingan adat ( peristiwa perkawinan dan kematian) orang yang bertugas untuk menyelesaikan perselisihan dan masalah dalam kelompok masyarakat. Mosalaki memiliki berbagai julukan seperti, mosa ulu laki eko, mosa boa laki ola, mosa meze laki lewa, mosa wiwi laki lema, mosa tana laki watu, mosa bhada laki wea, mosa ngai laki zede. Tetapi ada mosalaki yang tidak patut diteladani yaitu mosa oa laki wawi. Dan juga mosalaki yang kehilangan kehormatan disebut mosa mona laki bhai.
Budaya kita mengatur dengan baik tentang kepemilikan tanah dan tata cara pemanfaatannya termasuk hak dan kewajiban pemilik tanah dan orang yang memanfaatkannya. Kita mengenal tanah ulayat yang terdiri dari tana kapi sao, tana taa koko nee dolo to, tana ta lani nee tadu asu. Ada juga tanah ulayat yang merupakan hasil perjuangan bersama yang dikenal dengan istilah tana taa bani papa kapi, tego papa leu, tana wuli gega lado ngai, tana taa kuku bua bela bia, tana ao doe ana gola. Kita mengakui tanah milik perorangan yang berasal dari tana tii toki pea pati, tana tuko watu beta, tana bhada bhaa wea mene, tana dhoko bola, tana tuka foko, tana kodo doi, tana poko toko lulu dhula, tana gase/beko aba uzu nee puu tolo.
Tata cara pemanfaatan tanah pun sudah diatur seperti untuk kehidupan keluarga (tau gae ola muzi, polu fai pagha ana), boleh untuk tanaman tahunan(umur pendek), bisa untuk tanaman umur panjang (taga toni mula bhuga). Dalam pemanfaatan tanah kita mengenal istilah pogo mona tana, pate mona ngale. Untuk para penggarap kita kenal istilah sozo woza kabho wawo, fedho woli, ki boka odi deto.
Budaya kita memiliki konsep kepemimpinan melalui ungkapan “ ajo lau mau poto molo mangu”. Ungkapan singkat ini mengandung makna yang sangat luas. Ada aspek keteladanan, ada aspek orang yang memiliki kemampuan khusus, ada aspek kerja sama antara pemimpin dan orang yang dipimpin, ada aspek mengenal medan tugas. Ini bisa kita perhatikan dari konstruksi “ajo” (perahu). Tiang kemudi (mangu) berasal dari kayu pilihan (kaju taa atu-atu jeka ta kamu, waja-waja jeka taa ta), perahunya sendiri juga harus dengan konstruksi yang kuat dari kayu pilihan pula, harus dibuat dengan keseimbangan yang sempurna untuk mempu berlayar di laut lepas yang kadang tenang tetapi kadang juga dihadang ombak dan gelombang tetapi perahu itu harus sampai di pelabuhan. Ini juga menggambarkan tanggung jawab seorang pemimpin. (Bandingkan dengan konsep Ki Hajar Dewantara: Ing ngerso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani)
Budaya kita memiliki konsep “ulu eko” yang selalu dikaitkan dengan ungkapan “ulu pulu eko pongo, ulu meze eko lewa” dan juga ada konsep “ena one ulu eko ngusa nee taa wuku ulu enga eko”. ”Ulu eko” terdiri dari “sao meze teda lewa”, yang meluas ke ”padhi bi ulu eko” dan “kani padhi wesa meta” yang menggambarkan persatuan dan kesatuan serta keakraban dan persaudaraan dalam kampung. “Sao” selain untuk tempat tinggal tetapi ada “sao” yang dibangun khusus dengan sebutan “sao waja” tempat menyimpan benda-benda pusaka dan benda-benda adat yang melambangkan persatuan keluarga dan berkaitan dengan kepemilikan tanah (tana taa koko nee dolo to, lani nee tadu asu).
Beberapa “Sao waja” yang terpencar di beberapa kampung membentuk “woe/hoga” (suku) dan kemudian beberapa “woe” membentuk kelompok “peo oko nabe fa” dengan pembagian fungsi dan peran sebagai ”saka puu, saka lobo, gase sobo lado, (ada iwu, lado bepi), saa tugu-tugu” dan ini tergambar dari urut-urutan pemotongan kerbau pada waktu “pa bhe”. Kita juga mengenal istilah “tolo ata nee sao teda, tolo ata nee ili woe, tolo ada nee bhisu manga imu” yang sebenarnya menggambarkan keteraturan kehidupan masyarakat kita.
Karena ada pergaulan antar indifidu bahkan antar kelompok dan antar bangsa, akan terjadi pembauran budaya (akulturasi) dan penyerapan budaya (asimilasi). Ini suatu hal yang tidak bisa terelakan. Namun, perlu diperhatikan jangan sampai budaya kita menjadi kalah dan hilang terutama nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
III. PERAN BUDAYA DALAM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN DESA DAN KELURAHAN
Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Pemerintah Negara Indonesia mulai dari Pusat sampai ke desa dan kelurahan. Dan untuk melakukan tugas itu, Pemerintah harus menggerakan masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Kita tahu bahwa proses pembangunan di Indonesia dan pelaksanaannya berbeda dari masa ke masa. Pada zama Orde Baru pembangunan sangat sentralistik. Kita tergantung ke Pusat. Di era reformasi kita mengenal pembangunan partisipatif. Melaksanakan pembangunan partisipatif memerlukan seni tersendiri. Salah satu seninya adalah memahami kebudayaan masyarakat setempat.
Dengan memahami kebudayaan masyarakat maka proses pembangunan tidak terhambat. Budaya sebagai hasil karya cipta manusia, perannya adalah menunjang pembangunan. Untuk itu nilai-nilai luhur kebudayaan perlu kita perhatikan sehingga bisa menunjang pembangunan. Pemahaman akan budaya sendiri bisa menjadi panduan dan rambu-rambu dalam membuat kebijakan pembangunan di desa dan kelurahan.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, kita perlu arif mempertahankan nilai-nilai luhur kebudayaan kita. Globalisasi tidak bisa dihindari. Untuk itu mengutip pendapat Prof. Dr. Ki Supriyoko, M. Pd, kita perlu mempedomani apa yang dsebut sebagai Teori Trikon. Teori Trikon terdiri dari tiga komponen yaitu: Pertama, kontinuitas, melanjutkan budaya para leluhur bangsa yang mengandung nilai-nilai positif, Kedua, konvergensi, membuka peluang bagi budaya luar untuk berbaur dengan budaya kita, Ketiga, konsentrisitas, hasil pertemuan dengan budaya luar hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai) baru.
Jadi peran budaya dalam proses pembangunan Desa dan kelurahan jelas yaitu untuk mendukung dan menunjang kegiatan pembangunan sejauh para pemimpin mengenal kebudayaan masyarakat dan memanfaatkannya untuk mempercepat kegiatan pembangunan dan dengan demikian akan memperoleh hasil yang memuaskan dan bermanfaat untuk masyarakat itu sendiri.
IV. PENUTUP
Demikianlah, setelah memahami beberapa hal tersebut di atas, bapak ibu semua adalah para pemimpin di desa dan kelurahan dengan tugas mulia untuk menggerakan pembangunan di desa dan kelurahan (Ajo lau mau poto molo mangu). Gerakanlah pembangunan dengan berpedoman pada falsafah dan budaya kita.
Dalam berpedoman kepada budaya tentunya kepada nilai-nilai luhurnya yang positif. Dan kita harus memiliki keberanian untuk membuang budaya yang mengandung nilai-nilai yang negatif. Dengan demikian maka budaya kita akan bermanfaat untuk mempercepat proses pembangunan.
Penulis adalah Ketua KUD Pelipedha, Boawae
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Peran Budaya dalam Penyelenggaraan Pembangunan Desa dan Kelurahan,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Peran Budaya dalam Penyelenggaraan Pembangunan Desa dan Kelurahan ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Peran Budaya dalam Penyelenggaraan Pembangunan Desa dan Kelurahan sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 7:38 AM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos