Sebetulnya ada banyak figur top domestik (nasional maupun lokal) yang patut diangkat, tetapi agar tidak memuncratkan mispersepsi seolah saya pro tokoh ini atau itu -- apalagi kayaknya "politico-phobia" atau setidaknya sikap "anti politik" masih menggejala -- maka saya angkat tokoh dari luar negeri sajalah.
Sekitar tahun 1996, Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela (tokoh legendaris dunia dari Afrika yang berjuang membebaskan bangsanya dari belitan politik apartheid hingga dijebloskan ke penjara hampir 30 tahun) datang ke Indonesia. Di sela kegiatannya yang padat, Mandela berkunjung ke LP Cipinang untuk menemui Xanana Gusmao, tokoh pro kemerdekaan Timor Timur yang dipenjarakan di sana. Presiden Soeharto saat itu langsung menugaskan Duta Besar Lopes da Cruz (Dubes Keliling RI dengan 'Tugas Khusus') mendampingi Presiden Mandela. Sebagai staf/asisten Pak Dubes Lopes, saya pun disertakan dalam acara itu. Soalnya, laporan "isi" pertemuan Mandela-Xanana mesti dilaporkan kepada Pak Harto oleh Dubes Lopes. Sebagai staf yang memang bertugas pada ranah itu, saya yang menyusun segala laporan kepada Presiden termasuk kegiatan itu.
Di tengah perjalanan, saya minta ijin kepada Pak Dubes Lopes, "Pak, bolehkah saya nanti bertanya kepada Presiden Mandela? Hanya satu pertanyaan." Pak Lopes, pimpinan sekaligus teman diskusi (kebetulan beliau eks frater yang lalu jadi tentara Portugis), santai menyahut, "Boleh saja, tapi syaratnya jangan tanya soal politik."
Setelah selesai dengan Xanana, Pak Lopes berbisik kepada Mandela, "Yang Mulia Presiden, ini Valens, asisten saya, anak muda Flores, eks filsafat. Dia mengagumi Yang Mulia dan punya satu pertanyaan." Pak Lopes gemar kenalkan saya dengan sebutan "eks filsafat", entah kenapa. Presiden Mandela, dengah ramah dan wajah menyorotkan kerendahan hati yang kharismatis, menepuk bahu saya dan katakan, "Anak muda, silakan." Lalu saya langsung ke sasaran, "Bapak Presiden, kalau dapat diperas dari seluruh rangkuman hidup Bapak, momen manakah yang paling berkesan dan mewarnai hidup Bapak?"
Mandela menjawab dengan senyum yg juga kharismatis di wajahnya, "Anak muda, pertanyaan yang saya suka. Tidak ada pengalaman yang paling impresif, paling berharga, paling menentukan SIAPA diri saya, selain PENGALAMAN DIPENJARAKAN. Itu menempa karakter saya dan meyakini, HIDUP INI HANYALAH MISI yang mesti dijalankan."
Sebagai anak muda yang saat itu masih 20-an tahun dan penuh semangat, jawaban Mandela terngiang-ngiang tak hanya di telinga, tapi bergema di jiwaku.
Pengalaman kedua: saya ditugaskan menjemput Wakil/Utusan Khusus Sekjen PBB, Duta Besar H.E. Jamsheed Marker di Bandara Soekarno-Hatta. Dia pejabat tinggi PBB yang ditugaskan Sekjen PBB untuk mempercepat penyelesaian masalah Timor Timur. Saya bersama Dr. Dino Patti Djalal (diplomat karir, eks Jubir Presiden SBY, sekarang Dubes RI di Washington DC). Dino -- yang sejak SMP, SMP, Master dan Doktor-nya di Inggris dan Kanada -- adalah diplomat intelektual muda saat itu. Di jalan, lagi-lagi saya tanya, "Bang Dino, boleh nanti saya tanya-tanya sedikit kepada Jamsheed Marker?" Saya tahu diri karena bukan diplomat organik Deplu RI, yang mesti sopan-santun dan basa-basi diplomatik. Karena Dino mengiyakan dengan syarat jangan tanya soal 'East Timor issue', saya pun lempar tanya, "Pak Dubes Jamsheed, pengalaman apakah yang paling berpengaruh pada hidup dan karir Anda?" Jawabannya pendek tapi menjitak benak saya, "Pengalaman ditugaskan di negara-negara yg dilanda KRISIS."
Manusia Pembelajar
Kedua tokoh di atas hanyalah contoh, betapa manusia-manusia hebat justru menunggangi gelombang-gelombang krisis. Entah krisis kehidupan pribadi, krisis ekonomi dan politik bangsa, bahkan krisis yg diakibatkan isu berskala internasional. Saya suka ungkapan bijak ini: manusia ditempa oleh situasi krisis. Pelaut ulung baru disebut "ulung" kalau sudah menaklukkan topan di lautan, tak hanya sekali tetapi berulang-ulang kali. Karakter manusia-manusia unggul itu diproses dalam dinamika yang sebenarnya tidak enak dirasakan -- bahkan mungkin cenderung dihindari -- namun secara psikologis justru mempertebal "daya hidup", memompa "energi mental-psikis", membuncahkan "elan vital" yang luar biasa.
Saya tidak sekadar berdongeng. Juga bukan semata bercerita tentang Nelson Mandela. Namun saya ingin berbagi pikiran, "sharing" yang sebenarnya sederhana saja, andaikan setiap orang melihat setiap peristiwa dengan kacamata benderang -- hati yang ikhlas, kerelaan berkorban, kerendahan hati, kekuatan jiwa, semangat memberi, daya juang yang tinggi -- maka mungkin hidup akan terasa lebih baik. Kalau misalnya "kemiskinan ekonomi" kita di Flores disublimasi menjadi daya-dorong dan "energi spiritual" yang kencang untuk menggerakkan perubahan, saya yakin itu akan mempengaruhi perubahan faktual-konkrit dalam lapangan hidup keseharian.
Juga saya membayangkan, seandainya kita tidak mudah patah semangat, bersikap lebih jantan-ksatria (bagai samurai Jepang yang berjiwa "bushido"), yang tetap tenang meski dihajar badai, yang tetap angkat kepala meski diobrak-abrikkan problem hidup yang mahahebat, yang "sabar dan ikhlas" sekalipun dirajam gosip dan fitnah, yang selalu tersenyum meski jiwanya membawa luka (yang pasti sembuh dalam waktu), yang tidak punya sikap tega korupsi di tengah tangisan rakyat, yang malu jadi pejabat hanya supaya status sosial atau "gengsi" naik, yang menganggap kehidupan adalah amanah dari Tuhan untuk "memberi dan memberi", yang tidak rela negeri dan bangsanya dijarah asing, yang ingin maju TIDAK semata demi kepentingan diri; ya, kalau semua kualitas ini kita miliki -- maka jiwaku melonjak karena pasti tidak ada lagi "Krisis Kepemimpinan" di negeri ini, sebaliknya banyak pemimpin sejati atau setidaknya kader pemimpin sejati bersemi di taman bunga Nusantara ini.
Saya hanya berbagi, Saudaraku. Itu impian yang tidak luar biasa, kalau para kader muda sungguh-sungguh menempa diri sejak saat ini. Janganlah menyia-nyiakan waktu, wahai para kader muda. Kelak Anda akan lebih hebat dan tangguh, cerdas dan bijak, berdedikasi dan berpretasi -- lebih daripada generasi terdahulu.
Namun, sekiranya boleh saya akhiri catatan santai ini dengan sepercik himbauan: Jadilah kader bangsa (entah di daerah ataupun pada level nasional; keduanya sama penting) yang juga bertipe "Manusia Pembelajar". Pribadi yang tidak pernah puas dengan pengetahuan di otaknya yang terbatas, yang tidak cepat merasa hebat meski baru memulai satu-dua langkah awal, yang rendah hati belajar dari kehidupan dan sesamanya.
Tentu saja, saya pun sedang berjuang jadi "Manusia Pembelajar". Jadi Anda tidak sendirian. Malah mungkin langkah saya lebih tunggang-langgang ketimbang Anda. Badai mungkin lebih memporak-porandakan bangunan hidup saya dibanding Anda. Jadi, jangan kuatir, wahai para kader muda. Maju terus dan terus maju! Kehidupan bangsa dan negara tercinta ada di tangan, pikiran dan hati Anda.
Terima kasih. Salam Indonesia!
VDS
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Menjadi Manusia Pembelajar,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Menjadi Manusia Pembelajar ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Menjadi Manusia Pembelajar sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 6:36 AM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos