(Pendiri FLORASTA INDONESIA)
Tanggal 22 Juni lalu, saya dan beberapa teman (Saya, Gregorius dari Nagekeo, Bung Gervas Rado, pengusaha seni asal kampung Tenda Lio Ende, bung Adolf Reku seniman muda asal Sokoria Detusoko dan 2 orang mitra Pendidikan dari Yayasan Don Bosco Jakarta, Ibu Ning dan Mis Nita yang tergabung dalam sebuah kelompok yang kami namai sendiri sebagai “Kelompok Solidaritas” melakukan beberapa rangkaian kegiatan tahunan di beberapa wilayah di Flores.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Tahun ini kami mengunjungi beberapa wilayah yang cukup terpencil dan sepertinya nyaris di “anak tirikan”.
Bukankah Tahun 2013 merupakan Tahun kunjungan NTT atau yang dikenal dengan VISIT NTT 2013? Bahkan, bukankan tahun ini NTT menjadi tuan rumah untuk sebuah event Internasional SAIL KOMODO? Bukankah Ende juga sebagai sebuah kabupaten tuan rumah yang semestinya sudah membenahi diri untuk memperkenalkan potensi-potensi yang belum digali seperti yang termaktub dalam tujuan SAIL KOMODO itu sendiri?
Memasuki ruang kedatangan, lagi-lagi kami dibuat kecewa. Tidak ada satupun media visual seperti poster atau banner yang menandakan bahwa akan ada sebuah event besar yang akan diadakan di kota ini.
Saat keluar dari kawasan Bandara, kekecewaan saya sedikit terobati manakala rekan seperjalanan Adolf menyolek saya sambil menunjuk ke luar jendela dimana tampak sebuah Baliho SAIL KOMODO kira-kira berukuran 2 x 3 meter yang sepertinya sudah lama terpasang (terlihat dari posisi tiangnya yang sudah miring sebelah) di sekitar “lampu merah” beberapa meter dari gerbang bandara. “Ya,lumayan dari pada tidak ada sama sekali…!” gumam saya dalam hati.
Sepanjang perjalanan sekitar tujuh jam melalui jalur lintas Flores itu, kembali kami tidak menemukan tanda-tanda adanya persiapan menyambut Event Sail Komodo ini. Yang paling banyak kami temui sepanjang perjalanan hanyalah spanduk dan baliho berisi foto dan figur dari beberapa partai politik yang sedang “hangat” dibicarakan.
Rupanya pemerintah daerah sedang fokus dengan persiapan menjelang perhelatan politik, sampai-sampai lupa dengan sebuah even besar yang akan diselenggarakan. Alih-alih mengarahkan dan mengajak masyarakat untuk terlibat aktif menyongsong even ini, pemerintah daerah sendiri terkesan enggan dan”ogah-ogahan” membenah diri untuk menjadi “tuan rumah” yang baik.
Saat berhenti makan dan sekedar istirahat di beberapa persinggahan, kami berkesempatan mengadakan aksi pembagian stiker Sail Komodo secara gratis. Mengenai pengadaan stiker ini, berhubung kami bukan Panitia Sail Komodo, semuanya kami siapkan dengan dana sendiri.
Dari hasil bincang-bincang dengan beberapa warga yang kami jumpai sepanjang perjalanan dapat dipastikan bahwa hampir sebagian masyarakat tidak mengetahui tentang apa yang disebut SAIL KOMODO ini. Sebagian lagi malah terkesan baru mendengar event ini dan sama sekali tidak mengetahui kalau daerahnya akan menjadi titik persinggahan rombongan Sail Komodo.
Pertanyaan yang sama dan paling sering dilontarkan oleh sebagian warga adalah; Kapan acara puncaknya? Ada artis siapa yang akan diundang?
Pertanyaan ini tentu saja menggelitik kami. Betapa tidak, masyarakat kita sepertinya lebih tertatarik dengan euforia “Hura-hura”. Sama sekali tidak ada hasrat untuk menjadikan event ini sebagai sebuah kesempatan.
Pada akhirnya kami hanya mencoba untuk memahami, mengingat “Budaya rame-rame” yang sudah menjadi tradisi masyarakat kita, apalagi pertanyaan itu keluar dari “ketidak-tahuan”. Terus siapa yang disalahkan dalam hal ini? Tentu ketidaktahuan masyarakat ini akibat dari minimnya informasi dan sosialisasi yang terputus.
Kami tiba di Ruteng, sekitar pukul delapan malam. Udara dingin menyambut kedatangan kami, terutama dua rekan kami Bu Ning dan Mis Nita yang sudah membungkus badan dengan jaket tebal. Namun udara dingin yang menyusuk sum-sum hilang seketika oleh kejadian berikut.
Di sebuah pertigaan salah satu sudut kota Ruteng, mobil kami dihadang oleh beberapa orang pemuda yang belakangan baru diketahui merupakan personil dari sebuah agen travel. Dengan sapaan khas Manggarai pengemudi kami diminta untuk meminggirkan kendaraan.
Tanpa basa-basi,kami diminta untuk turun dan pindah kendaraan. Tentu saja hal ini sangat mengusik kami yang sudah lebih dari tujuh jam berletih ria dalam perjalanan Nangaroro-Ruteng. Tanpa alasan yang jelas kami dipaksa untuk tetap pindah tumpangan.
Bahkan dengan nada sedikit mengancam, pengemudi kami diminta untuk segera menyelesaikan pembayaran dengan pihak kami dan tidak melanjutkan perjalanan menuju POTA, daerah tujuan kami. Merasa pada posisi tidak menguntungkan, kami coba menghubungi beberapa relasi yang ada di kota Ruteng untuk sekedar mendapatkan solusi.
Begitu parahkah mental pelaku pariwisata kita? Bukankah mereka merupakan ujung tombak pariwisata? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu keluar dari hati tanpa ada pihak yang diharapkan untuk menjawab. Akhirnya melalui perdebatan yang cukup alot, kami berhasil menghadirkan pemilik travel yang segera menyambangi kami. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan kejadian yang kami alami, pemilik travel akhirnya bersedia menyiapkan kendaraan pengganti lengkap dengan pengemudi untuk mengantar kami menuju POTA, Sambi Rampas.
Perjalanan dilanjutkan menuju Ruteng. Ketika sudah mulai memasuki kota Ruteng, kami kembali terusik oleh sebuah kejadian. Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba dihadang oleh beberapa kendaraan angkot. Beberapa pemuda dengan tampang bak preman karena kelihatan awut-awutan menghampiri mobil kami tepatnya samping pengemudi.
Dengan gaya yang seperti sebuah rutinitas, mereka meminta kami untuk pindah kendaraan. Tentu saja kami keberatan, karena tujuan kami adalah Labuan Bajo, Manggarai Barat. Rupanya mereka tidak menyerah. Tanpa rasa malu mereka meminta kami untuk membayar Lima ribu rupiah masing-masing orang tanpa alasan yang jelas. Artinya kami harus membayar Dua puluh lima ribu untuk sesuatu yang tidak jelas.
Ironisnya, kejadian ini selain telah menjadi pemandangan sehari-hari dan telah bertahun-tahun, juga terjadi tepat di depan terminal yang nota bene telah ditempatkan beberapa petugas dengan seragam Dishub yang tentu saja “tahu”. Ini sangat memprihatinkan untuk reputasi pariwisata NTT apalagi jika dikaitkan beberapa agenda besar Nasional dan Internasional seperti Visit NTT 2013 dan Sail Komodo. Miris memang.
Perdebatan pun terjadi. Merasa tidak perlu berdebat dengan para “preman”, saya mendatangi kantor Dishub yang kebetulan tepat berada di depan ‘TKP’. Dengan nada keras karena merasa dipermainkan dan diintimidasi,setelah memperkenalkan diri, saya meminta beberapa petugas “berseragam”itu untuk segera menyelesaikan urusan dengan para “preman”. Kami pun akhirnya bisa melanjutkan perjalanan.
Di Labuan Bajo. Kami diantar ke sebuah penginapan milik Kevikepan. Romo Beni Bensi pastor kepala yang adalah sahabat kenalan ibu Ning sudah menunggu kehadiran kami. Setelah makan malam dengan para pastor, kami pun langsung beristirahat.
Esok hari kami diantar Romo Beni menuju pelabuhan Tilong. Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan, beberapa spanduk dan Baliho Sail Komodo terlihat terpasang berapitan kalah banyak dan kalah besar dengan baliho tokoh politik dari beberapa partai. Memasuki pelabuhan Tilong, sebuah baliho Sail Komodo terpajang di dinding sebuah bangunan pelabuhan. Kami perkirakan seukuran 15 x 30 meter.
Hari itu selain mengunjungi “Komodo”, kami habiskan waktu untuk mendatangi pulau-pulau lain dengan panduan awak kapal hingga langit di atas laut Labuan Bajo berubah jadi abu-abu. Pulau terakhir yang kami kunjungi adalah pulau Bidadari yang menurut informasi sudah menjadi milik seorang pengusaha berkebangsaan Inggris. Waw……luar biasa….
Setelah bersnorkling dan diving ria, kami kembali ke pelabuhan Tilong.
Malam harinya seluruh agenda kegiatan sudah ditutup. Saya dan rekan Adof berinisiatif membuat agenda sendiri. Keinginan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang persiapan Sail Komodo kami dapatkan melalui bincang-bincang dengan para pelaku pariwisata. Malam itu,dengan bantuan seorang pemilik Art shop, kami berhasil mengumpulkan beberapa pemilik art shop dan penjaja souvenir yang beroperasi di beberapa titik publik area di Labuan Bajo.
Dari hasil bincang-bincang, kami berhasil mengumpulkan beberapa informasi yang sebagiannya merupakan keluhan terhadap perhatian yang sangat minim terhadap mereka. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Pada 1 Juli 2013, seluruh rangkaian kegiatan solidaritas di beberapa tempat di Nusa Nipa sudah selesai sesuai yang direncanakan. Saatnya kami harus kembali ke Jakarta. Kami akan menempuh rute penerbangan Labuan Bajo – Denpasar – Jakarta.
Saat memasuki kawasan bandara, kami sedikit berbangga dengan adanya sebuah bangunan megah yang ternyata belum rampung benar. Setidaknya ini akan menjadi kebanggaan masyarakat Flores. Namun sayangnya hari itu kami tidak mendapati ada aktivitas pengerjaan bangunan yang belum beres itu.
Berdasarkan informasi yang berhasil kami dapatkan, rupanya pekerjaan proyek itu tersendat dan terhenti sejak beberapa minggu sebelumnya. Waduh? Bukankah bangunan itu harus sudah siap pakai saat puncak Sail Komodo tanggal 9 September nanti? Kita harapkan semoga semua bisa berjalan sesuai target yag telah dibuat sehingga SAIL KOMODO ini benar-benar membawa perubahan bagi pariwisata NTT.
Laporan Perjalanan, George Pendugu, Kelompok Peduli Pendidikan & Budaya
sumber: www.pendugu.com
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul SAIL KOMODO DAN BUDAYA RAME-RAME,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel SAIL KOMODO DAN BUDAYA RAME-RAME ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link SAIL KOMODO DAN BUDAYA RAME-RAME sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 9:20 AM
+ comments + 1 comments
Gagaaaa skali eja Ganteng..!!!
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos