From World for Nagekeo
Headlines News :
Bonie AC Advertise
Support Us With Your Advertise
Showing posts with label Budaya Nasional. Show all posts
Showing posts with label Budaya Nasional. Show all posts

Modifikasi Telopoi Rendu, Jokowi & Elsa


JAKARTA (Nagekeo Pos) - Motif Telopoi khas Rendu semakin banyak digemari, kata Maria Elisabet, duta budaya Nagekeo yang pajang banyak foto dengan busana modifikasi Telopoi, tenun khas masyarakat Rendu, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo.
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 1:01 PM

RAGI/HOBA NAGEKEO TERLALU KASAR DAN KAKU

JAKARTA (Nagekeo Pos) - Motif kostum adat Nagekeo Flores semakin digandrungi publik tanah air, seperti terjadi di kota Jakarta belakangan ini.

Tak disangka, designer senior nasional Reggie Lawalata ternyata sangat menyukai motif Nagekeo. "Aku sangat suka hitam kuning emas," ujarnya kepada salah satu tamu istimewa belum lama ini.

Tobby Ndiwa, musisi berbakat yang sedang naik daun di kota metropolitan Jakarta ini, mengaku terkejut ketika menemukan banyak kain motif Nagekeo di lemari etalase sang designer Reggie Lawalata.

"Ketika kami mengisi pesta ultah actress dan designer senior nasional Reggie Lawalata di kediamannya sekitar bilangan Dharmawangsa ahad silam saat acara selesai, mataku tertuju kepada dua buah lemari kaca yang terpampang di kedua sudut ruang tamu yang dipenuhi berbagai ten unan ikat dari berbagai daerah di Indonesia.

"Selesai memberesi peralatan yang kami bawa, rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Di hati kecilku bertanya "apakah salah satu isi dari lemari kaca itu terdapat koleksi tenunan Nagekeo yang saya bangga selama ini. Sontak saja ketika semakin mendekat "eh ternyata sosok itu ada".

"Selesai mengintip saya kembali duduk di mini bar pribadi. Tak lama kemudian muncullah Oscar Lawalata Sang putra Reggie yang juga designer beken tanah air bersama Angel Pieterz mantan penyanyi finalis Idola Cilik 1' RCTI yg saat ini sudah beranjak menjadi penyanyi remaja.

"Angel Pieterz baru-baru ini meluncurkan single (lupa judul) dan masuk top ten dahsyat RCTI beberapa pekan terakhir. Sambil meneguk bir bersama Barce van Alfred yg hari itu ikut join, tanpa basa-basi naluriku bertanya soal Isi lemari kaca tadi kepada Oscar.

"Bang! Dari tadi kita belum kenalan. 'Do'i sedikit terperangah ketika saya bilang saya orang Flores Nagekeo," tulis Tobby Ndiwa, putra Nangaroro yang juga sarjana hukum ini, di wall facebook Nagekeo Bersatu (NB).


Oscar Lawalata, tulis Tobby Ndiwa, mengaku memiliki koleksi tenunan ikat terbanyak dari NTT karena tenunan dari NTT lebih natural.

"Kalau boleh saran, sampaikan ke penenun di Nagekeo untuk tidak menggunakan benang yang kasar dan urat besar karena hasilnya akan kaku dan kasar. Sebaiknya gunakan benang yg paling halus, karena kalau sudah jadi bahan akan mudah di modifikasi dan bisa dikonsumsi masyarakat luas, tidak saja sebatas Kalangan sendiri. Saya yakin motif ragi Nagekeo mendunia," kata Oscar.

"Semoga kritikan dan masukan para designer bermanfaat bagi para pelaku tenun di Nagekeo. Mari kita peduli Nagekeo dengan cara kita masing-masing. Saatnya RAGI/HOBA goes to the world," tulis Tobby Ndiwa, pemilik satu album etnik Nagekeo ini.
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 12:23 PM

SAIL KOMODO DAN BUDAYA RAME-RAME

Oleh George Soge Soo
(Pendiri FLORASTA INDONESIA)


Tanggal 22 Juni lalu, saya dan beberapa teman (Saya, Gregorius dari Nagekeo, Bung Gervas Rado, pengusaha seni asal kampung Tenda Lio Ende, bung Adolf Reku seniman muda asal Sokoria Detusoko dan 2 orang mitra Pendidikan dari Yayasan Don Bosco Jakarta, Ibu Ning dan Mis Nita yang tergabung dalam sebuah kelompok yang kami namai sendiri sebagai “Kelompok Solidaritas” melakukan beberapa rangkaian kegiatan tahunan di beberapa wilayah di Flores.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Tahun ini kami mengunjungi beberapa wilayah yang cukup terpencil dan sepertinya nyaris di “anak tirikan”.

Bukankah Tahun 2013 merupakan Tahun kunjungan NTT atau yang dikenal dengan VISIT NTT 2013? Bahkan, bukankan tahun ini NTT menjadi tuan rumah untuk sebuah event Internasional SAIL KOMODO? Bukankah Ende juga sebagai sebuah kabupaten tuan rumah yang semestinya sudah membenahi diri untuk memperkenalkan potensi-potensi yang belum digali seperti yang termaktub dalam tujuan SAIL KOMODO itu sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dengan sendirinya ketika saya sedikitpun tidak menemukan fernak-fernik atau simbol-simbol sebagai tanda bahwa kota ini akan menyambut sebuah perhelatan akbar. Atau kami yang terlalu berlebihan menganggap SAIL KOMODO ini sebagai sebuah hajatan besar?

Memasuki ruang kedatangan, lagi-lagi kami dibuat kecewa. Tidak ada satupun media visual seperti poster atau banner yang menandakan bahwa akan ada sebuah event besar yang akan diadakan di kota ini.

Saat keluar dari kawasan Bandara, kekecewaan saya sedikit terobati manakala rekan seperjalanan Adolf menyolek saya sambil menunjuk ke luar jendela dimana tampak sebuah Baliho SAIL KOMODO kira-kira berukuran 2 x 3 meter yang sepertinya sudah lama terpasang (terlihat dari posisi tiangnya yang sudah miring sebelah) di sekitar “lampu merah” beberapa meter dari gerbang bandara. “Ya,lumayan dari pada tidak ada sama sekali…!” gumam saya dalam hati.

Sepanjang perjalanan sekitar tujuh jam melalui jalur lintas Flores itu, kembali kami tidak menemukan tanda-tanda adanya persiapan menyambut Event Sail Komodo ini. Yang paling banyak kami temui sepanjang perjalanan hanyalah spanduk dan baliho berisi foto dan figur dari beberapa partai politik yang sedang “hangat” dibicarakan.


Rupanya pemerintah daerah sedang fokus dengan persiapan menjelang perhelatan politik, sampai-sampai lupa dengan sebuah even besar yang akan diselenggarakan. Alih-alih mengarahkan dan mengajak masyarakat untuk terlibat aktif menyongsong even ini, pemerintah daerah sendiri terkesan enggan dan”ogah-ogahan” membenah diri untuk menjadi “tuan rumah” yang baik.

Saat berhenti makan dan sekedar istirahat di beberapa persinggahan, kami berkesempatan mengadakan aksi pembagian stiker Sail Komodo secara gratis. Mengenai pengadaan stiker ini, berhubung kami bukan Panitia Sail Komodo, semuanya kami siapkan dengan dana sendiri.

Dari hasil bincang-bincang dengan beberapa warga yang kami jumpai sepanjang perjalanan dapat dipastikan bahwa hampir sebagian masyarakat tidak mengetahui tentang apa yang disebut SAIL KOMODO ini. Sebagian lagi malah terkesan baru mendengar event ini dan sama sekali tidak mengetahui kalau daerahnya akan menjadi titik persinggahan rombongan Sail Komodo.

Pertanyaan yang sama dan paling sering dilontarkan oleh sebagian warga adalah; Kapan acara puncaknya? Ada artis siapa yang akan diundang?

Pertanyaan ini tentu saja menggelitik kami. Betapa tidak, masyarakat kita sepertinya lebih tertatarik dengan euforia “Hura-hura”. Sama sekali tidak ada hasrat untuk menjadikan  event ini sebagai sebuah kesempatan.

Pada akhirnya kami hanya mencoba untuk memahami, mengingat “Budaya rame-rame” yang sudah menjadi tradisi masyarakat kita, apalagi pertanyaan itu keluar dari “ketidak-tahuan”. Terus siapa yang disalahkan dalam hal ini? Tentu ketidaktahuan masyarakat ini akibat dari minimnya informasi dan sosialisasi yang terputus.

Kami tiba di Ruteng, sekitar pukul delapan malam. Udara dingin menyambut kedatangan kami, terutama dua rekan kami Bu Ning dan Mis Nita yang sudah membungkus badan dengan jaket tebal. Namun udara dingin yang menyusuk sum-sum hilang seketika oleh kejadian berikut.

Di sebuah pertigaan salah satu sudut kota Ruteng, mobil kami dihadang oleh beberapa orang pemuda yang belakangan baru diketahui merupakan personil dari sebuah agen travel. Dengan sapaan khas Manggarai pengemudi kami diminta untuk meminggirkan kendaraan.


Tanpa basa-basi,kami diminta untuk turun dan pindah kendaraan. Tentu saja hal ini sangat mengusik kami yang sudah lebih dari tujuh jam berletih ria dalam perjalanan Nangaroro-Ruteng. Tanpa alasan yang jelas kami dipaksa untuk tetap pindah tumpangan.

Bahkan dengan nada sedikit mengancam, pengemudi kami diminta untuk segera menyelesaikan pembayaran dengan pihak kami dan tidak melanjutkan perjalanan menuju POTA, daerah tujuan kami. Merasa pada posisi tidak menguntungkan, kami coba menghubungi beberapa relasi yang ada di kota Ruteng untuk sekedar mendapatkan solusi.

Begitu parahkah mental pelaku pariwisata kita? Bukankah mereka merupakan ujung tombak pariwisata? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu keluar dari hati tanpa ada pihak yang diharapkan untuk menjawab. Akhirnya melalui perdebatan yang cukup alot, kami berhasil menghadirkan pemilik travel yang segera menyambangi kami. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan kejadian yang kami alami, pemilik travel akhirnya bersedia menyiapkan kendaraan pengganti lengkap dengan pengemudi untuk mengantar kami menuju POTA, Sambi Rampas.


Perjalanan dilanjutkan menuju Ruteng. Ketika sudah mulai memasuki kota Ruteng, kami kembali terusik oleh sebuah kejadian. Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba dihadang oleh beberapa kendaraan angkot. Beberapa pemuda dengan tampang bak preman karena kelihatan awut-awutan menghampiri mobil kami tepatnya samping pengemudi.

Dengan gaya yang seperti sebuah rutinitas, mereka meminta kami untuk pindah kendaraan. Tentu saja kami keberatan, karena tujuan kami adalah Labuan Bajo, Manggarai Barat. Rupanya mereka tidak menyerah. Tanpa rasa malu mereka meminta kami untuk membayar Lima ribu rupiah masing-masing orang tanpa alasan yang jelas. Artinya kami harus membayar Dua puluh lima ribu untuk sesuatu yang tidak jelas.

Ironisnya, kejadian ini selain telah menjadi  pemandangan sehari-hari dan telah bertahun-tahun, juga terjadi tepat di depan terminal yang nota bene telah ditempatkan beberapa petugas dengan seragam Dishub yang tentu saja “tahu”. Ini sangat memprihatinkan untuk reputasi pariwisata NTT apalagi jika dikaitkan beberapa agenda besar Nasional dan Internasional seperti Visit NTT 2013 dan Sail Komodo. Miris memang.


Perdebatan pun terjadi. Merasa tidak perlu berdebat dengan para “preman”, saya mendatangi kantor Dishub yang kebetulan tepat berada di depan ‘TKP’. Dengan nada keras karena merasa dipermainkan dan diintimidasi,setelah memperkenalkan diri, saya meminta beberapa petugas “berseragam”itu untuk segera menyelesaikan urusan dengan para “preman”. Kami pun akhirnya bisa melanjutkan perjalanan.

Di Labuan Bajo. Kami diantar ke sebuah penginapan milik Kevikepan. Romo Beni Bensi pastor kepala yang adalah sahabat kenalan ibu Ning sudah menunggu kehadiran kami. Setelah makan malam dengan para pastor, kami pun langsung beristirahat.

Esok hari kami diantar Romo Beni menuju pelabuhan Tilong. Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan, beberapa spanduk dan Baliho Sail Komodo terlihat terpasang berapitan kalah banyak dan kalah besar dengan baliho tokoh politik dari beberapa partai. Memasuki pelabuhan Tilong, sebuah baliho Sail Komodo terpajang di dinding sebuah bangunan pelabuhan. Kami perkirakan seukuran 15 x 30 meter.

Hari itu selain mengunjungi “Komodo”, kami habiskan waktu untuk mendatangi pulau-pulau lain dengan panduan awak kapal hingga langit di atas laut Labuan Bajo berubah jadi abu-abu. Pulau terakhir yang kami kunjungi adalah pulau Bidadari yang menurut informasi sudah menjadi milik seorang pengusaha berkebangsaan Inggris. Waw……luar biasa….

Setelah bersnorkling dan diving ria, kami kembali ke pelabuhan Tilong.


Malam harinya seluruh agenda kegiatan sudah ditutup. Saya dan rekan Adof berinisiatif membuat agenda sendiri. Keinginan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang persiapan Sail Komodo kami dapatkan melalui bincang-bincang dengan para pelaku pariwisata. Malam itu,dengan bantuan seorang pemilik Art shop, kami berhasil mengumpulkan beberapa pemilik art shop dan penjaja souvenir yang beroperasi di beberapa titik publik area di Labuan Bajo.

Dari hasil bincang-bincang, kami berhasil mengumpulkan beberapa informasi yang sebagiannya merupakan keluhan terhadap perhatian yang sangat minim terhadap mereka. Ini tentu sangat memprihatinkan.

Pada 1 Juli 2013, seluruh rangkaian kegiatan solidaritas di beberapa tempat di Nusa Nipa sudah selesai sesuai yang direncanakan. Saatnya kami harus kembali ke Jakarta. Kami akan menempuh rute penerbangan Labuan Bajo – Denpasar – Jakarta.

Saat memasuki kawasan bandara, kami sedikit berbangga dengan adanya sebuah bangunan megah yang ternyata belum rampung benar. Setidaknya ini akan menjadi kebanggaan masyarakat Flores. Namun sayangnya hari itu kami tidak mendapati ada aktivitas pengerjaan bangunan yang belum beres itu.

Berdasarkan informasi yang berhasil kami dapatkan, rupanya pekerjaan proyek itu tersendat dan terhenti sejak beberapa minggu sebelumnya. Waduh? Bukankah bangunan itu harus sudah siap pakai saat puncak Sail Komodo tanggal 9 September nanti? Kita harapkan semoga semua bisa berjalan sesuai target yag telah dibuat sehingga SAIL KOMODO ini benar-benar membawa perubahan bagi pariwisata NTT.

Laporan Perjalanan, George Pendugu, Kelompok Peduli Pendidikan & Budaya

sumber: www.pendugu.com
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 9:20 AM

BUNG KARNO: "JA'O ATA ENDE!"


Oleh Valens Daki-Soo

"Ja'o ata Ende! -- Saya orang Ende!" Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952, sebagaimana dikisahkan kembali seorang 'bruder' SVD (bruder: biarawan Katolik) asal Ende.

Sang bruder yang saat itu masih berusia sekitar 6-7 tahun punya memori manis: menyaksikan sang orator ulung berpidato dari pinggir Lapangan Pancasila, Kota Ende, di depan ribuan massa "ata Ende".

Sejarah mencatat, beberapa tahun sebelumnya, persisnya 1934-1938, Bung Karno muda diasingkan kolonialis Belanda ke Ende. Sebagaimana diakui sendiri BK, dalam masa pembuangan itulah beliau merenungkan apa yang kelak dikenal sebagai Pancasila.

6 Juni 1901 Bung Karno lahir di Surabaya. Putra Sang Fajar ini lahir menjelang atau ketika fajar menyingsing, dan memang, kelak dia menjadi "fajar harapan" bagi bangsa yang terbelenggu lama oleh penjajah asing.

Namun, saya tidak bermaksud mengurai sejarah. Poin terpenting adalah bahwa kita terpanggil untuk meneruskan perjuangan Bung Karno dan para leluhur agung bangsa. "Kita" itu berarti siapapun, dari suku dan agama manapun, punya panggilan yang sama untuk membangun bangsa, meski dalam peran, posisi dan porsi yang berbeda.

Bung Karno pernah menegaskan, negara ini dibangun bukan untuk segelintir orang kaya, bukan hanya untuk kaum Muslim atau agama tertentu lainnya, tidak cuma untuk suku Jawa atau suku tertentu lainnya. Berkata sang Proklamator, "Republik ini didirikan SATU UNTUK SEMUA! SEMUA UNTUK SEMUA!"

Dari optik kebangsaan, ucapan Bung Karno dapat diinterpretasik an sebagai terbukanya "ruang yang sama lebar" bagi setiap dan semua anak Indonesia untuk berkiprah bagi bangsanya. Tidak boleh ada hegemoni mayoritas atau dominasi minoritas. Tidak ada diskriminasi politik dan ekonomi. Pantang adanya pengecualian dan pengistimewaan bagi kelompok, suku dan agama tertentu. Siapa yang layak jadi pemimpin, dia berhak tampil dan didukung. Itulah yang dikehendaki dengan lahirnya Pancasila.

Kita bersyukur, negeri ini super majemuk, namun bisa rukun padu. Tentu proses ini mungkin tak pernah berakhir (never ending process) untuk terus merawat kebhinekaan sambil saling menerima perbedaan dan menghormati keanekaan.

Saya bangga dan bersyukur bahwa bangsa yang dihuni mayoritas Muslim ini tidak menjadi "penjara dengan sel-sel sempit", melainkan "rumah besar" bagi semua anak bangsa. "Silent majority" umat Muslim amat toleran dan apresiatif terhadap kemajemukan.

Bung Karno tidak hanya proklamator kemerdekaan, melainkan juga Integrator Bangsa. Spirit dan visi akbar beliau yang amat jauh ke depan hendaknya terus kita hidupkan dalam situasi kekinian bangsa yang sarat tantangan ini, termasuk ancaman ideologis terhadap Pancasila. Neoliberalisme yang memperanakkan fundamentalisme pasar bebas di satu sisi, serta radikalisme dan fundamentalisme religius yang antara lain memperanakkan terorisme di sisi lain, merupakan bentuk ancaman terhadap jatidiri bangsa dan postur kenegaraan kita.

Teriakan Bung Karno "Ja'o ata Ende!" -- Saya orang Ende! -- mencerminkan kepekaan kultural, kecerdasan politis dan kepiawaian psikologis seorang politisi-negara wan yang punya kebesaran jiwa dan kemampuan merangkul massa. Ya, Bung Karno memang sang Proklamator dan Integrator Bangsa.

Semoga bangsa ini melahirkan (lagi) pemimpin negarawan yang melampaui sekat-sekat pembatas. Mengapa? Karena Indonesia didirikan SEMUA UNTUK SEMUA!

Salam semangat Indonesia!
VDS
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 11:54 AM

Puisi khusus: BUNG KARNO DAN ENDE


Oleh Valens Daki-Soo

* Jelang 1 Juni, Hari Lahir Pancasila

Bangsa ini mesti tahu,
Sejarah besar pernah dilukis di atas kanvas beludru,
Dikuas dengan energi cinta Putra Sang Fajar yang larut dalam hening dan rindu,
Merenung di kota kecil di tengah Gunung Ia, Gunung Meja dan Gunung Wongge sebagai saksi bisu,
Menghirup hawa Nusa Bunga yang mereciki embun Pancasila.

Endeeeee!!!
Kau bukan sekadar kota paling tua di Flores Nusa Bunga!
Dari rahimmu Bung Karno telah minum air murni dari alam,
Menyusu di dada semesta menimba ilham untuk bangsa,
Menenun hari-hari dengan olah-batin dan budi memikir dasar negara,
Fondasi paling kukuh agar bangsa ini kelak jaya.

Heiiiii Gunung Ia,
Angkatlah kepala, tapi tak perlu busung dada!
Lihat, di kakimu Pemimpin Proklamator pernah merenda kehidupan,
Menulis surat, opini, dan bikin tonil, mengajar anak Ende main drama,
Refleksi tentang Islam, filsafat dan ideologi dunia,
Berdiskusi tentang filsafat dan dasar negara
Dengan dua sahabatnya pastor SVD asal Belanda, Pater Huijtink dan Pater Bouma.

Heiiiiii Gunung Meja,
Tubuhmu kering dan kurang pohon tapi tetap seksi menawan,
Jangan ragu untuk teriak "Merdeka!"
Karena sang Bapak Bangsa bermeditasi di dekat kakimu yang indah,
Dan Wongge pun berjasa karena menjadi payung alam, menjaga Sang Proklamator tetap aman terpelihara,
Oh Tuhan Maha Dahsyat, terima kasih karena lindungi dia dengan cinta bernyala.

Heiiiii Gunung Kelimutu,
Tahukah kau Bung Karno mengagumimu?
Maka dia pernah gemuruh berpidato,
"Saudara-saudar a, aku tidak bilang Grand Canyon di Amerika itu tidak indah!
Aku akui itu indah.
Tapi, dengar Saudarrrraaa,
Kelimutu di Ende Flores jauuuuhhhhhh lebih indah dibanding Grand Canyon di Amerika!"

Gelegaaarrr suara Bung Karno terasa menggetarkan tebing-tebing dan bagai meluruhkan dedaunan.

Endeeeee!!!
Dengarkan aku memekik dengan bangga membuncah di dada,
Kau bukan sekadar kota tua di Flores Nusa Bunga!
Aku Valens Daki-Soo,
Anak kampung dari Nangaroro,
Pengagum Bung Karno,
Patriot sejati yang berjuang tanpa pernah mengaso,
Hingga wafat di Wisma Yaso.

Aku bangga jadi anak Indonesia,
Aku bangga akan NTT Flobamora,
Aku bangga padamu, Ende di jantung Nusa Nipa.

Jakarta!
Palingkan wajahmu ke Flores Nusa Bunga!
Tataplah wajah cantik NTT Flobamora!
Cukup sudah kami menderita lama,
Mama-mama tua banting tulang untuk sekadar makan,
Menjunjung kayu bakar di kepala,
Menjual di pasar untuk dapat uang tidak seberapa,
Sementara para elite berfoya-foya, dan dengan itu mereka hina Pancasila!

Di mana peranmu, hei Istana, untuk bikin bangsa ini maju dan sejahtera,
Pembangunan adil dan setara,
Punya nama dan martabat di mancanegara?

Aku bukan sekadar berpuisi, Saudara.
Ini teriakan putra Flores yang cinta bangsa.
Sejak kecil di SD-ku di pelosok sunyi,
Kami diajar tentang kepahlawanan para leluhur agung: dari era Pangeran Jayakarta hingga masa Jenderal Soedirman,
Kami bangga dengan Soekarno-Hatta,
Kami takjub pada para pejuang heroik yang mengucur darah buat Pertiwi,
Kami setia kepada Republik!
Tak pernah ada satu butir pikiran untuk separatis, bikin negara sendiri!
Kami setia kepada Republik!
Kuulangi: kami setia kepada Republik!
Karena apa, Saudara-saudara ?
Karena kami cinta kepada Bunda Pertiwi,
Berkobar api spirit dan dedikasi untuk negeri ini.
Maka biar pulau kecil kami tak kecil hati,
Kami cinta negeri ini.
Camkan ini, hei Istana Negara!
Dengarkan,
Camkan ini, hei Istana Negara.

Ini puisi kututup dengan doa,
Semoga Tuhan Maha Esa, Allah SWT, Sang Hyang Widi Wasa,
Mendekap bangsa tercinta,
Memberi pemimpin sejati
Untuk
Kita.

Merdekaaaa!!!

Jakarta, 30 Mei 2013
Valens Daki-Soo
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 11:36 AM

Bicara Flores, Ya Alamnya, Ya Budayanya!

Oleh Giorgio Babo Moggi

"...Flores sesuai namanya. Bunga yang hidup karena pesonanya. Decak pelaut Portugis, “cabo da flora”, ketika berlabuh di tepi laut di ujung timur, merupakan ungkapan nyata akan pesona keindahan Flores. Flores tidak sekedar sebuah nama. Flores memang indah adanya. Ia menjadi bunga bangkai atau bahkan bunga mati, jika potensinya tidak dikelola secara baik. Pesona alam dan budaya menjadi bunga yang terpendam keindahannya. Keindahan bunga itu terpancar dari alam dan budayanya. Kini saatnya Flores bangkit menjadi pesona dunia melalui alam dan budayanya - bukan aneka tambangnya..."

Bulan Oktober 2012, saya pernah menulis di forum ini tentang “Daya Magnetis Bali yang Memikat Visitor”. Tulisan ini tercipta setelah saya ‘melebur’ dan menjadi warga sementara Nusa Dewata selama enam bulan. Selama di sana, saya menelusuri spot-spot pariwisata favorit seperti Bedugul, Dream Land Beach, Tanah Lot, Kintamani dan lain-lain. Pengamatan dan pertualangan ‘sesaat’ cukup memberikan gambaran yang utuh, Bali adalah dunianya wisatawan – domestik maupun mancanegara. Keywordnya adalah komitmen, sinergisitas, dan keulaten mengemas paket wisata, yang mewujudkan Bali menjadi surga dunia wisatawan. Itu yang dilakukan pemerintah Bali dengan kabupaten/kotanya.

Di forum ini pula merilis berita penandatangan MOU Para Bupati Sedaratan Flores dengan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada hari Sabtu tanggal 10 November 2012 bertempat di Aula Setda Ngada untuk mendorong Percepatan Pembangunan Pariwisata di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan Flores pariwisata menjadi leading sector pembangunan. Langkah awal yang positif sudah dilakukan, tapi butuh sinergitas dan komitmen semua kabupaten dan pemerintah pusat yang berujung pada implementasinya.

Tidak ada catatan historis turis mengunjungi Flores yang dibukukan. Jikalau pun ada, saya belum pernah membacanya (tolong di-share). Tetapi yang pasti Flores dikenal sebagai daerah kunjungan wisata sudah sangat lama. Saya ingat betul ketika pra gempa melanda Flores, tingkat kunjungan turis meningkatkan. Kita muda menemui turis di bandara, terminal dan hotel. Moni menjadi kampung turis. Para turis berseliweran di taman laut Waiara. Belum lagi di Labuanbajo dan sekitarnya.

Kehadiran para turis pada jaman itu, ketika paket tour dan travel tidak sebanyak sekarang, menciptakan lapangan kerja dadakan bagi para pelajar sekolah menengah yang pandai bahasa Inggris. Mereka menjadi guide, memandu para turis ke sentral-sentral pariwisata seperti Komodo, Kelimutu dan lain sebagainya. Guide menjadi pekerjaan part time bagi mereka di sela-sela liburan kala itu.

Namun, tsunami yang melanda Flores meruntuhkan geliat pembangunan di sektor pariwisata. Secara perlahan tingkat kunjungan menurun bahkan sepi sama sekali. Pemerintah setempat terlelap dalam ketidakberdayaan.


Geliat pariwisata itu pun menyeruak lagi sejalan semakin orang melupakan tragedi tsunami yang menyayat hati. Promosi pariwisata terus digencarkan meluas secara nasional pasca komodo dijadikan salah satu tujuh keajaiban dunia. Belum lagi Sail Komodo 2013 akan digelar. Turis pun mulai berdatangan. Flores menjadi pilihan berikut setelah Bali dan Lombok.

Bali memang firdausnya wisatawan asing. Namun, tidak dipungkiri Bali terus tergerus oleh modernisasi. Budaya dan keindahan alam pelan tapi pasti terkontaminasi kemajuan modern. Bukan tidak mungkin Bali pelan-pelan ditinggalkan wisata asing. Bali yang alami dan asri semakin tercemari modernisasi yang tak terbendungi. Karena banyak turis memburu sesuatu yang alami dan jauh dari hiru-pikuk perubahan yang sudah mereka alami di negeri sendiri. Dan, Flores adalah pilihan yang paling pasti.

Nah, kuncinya adalah bagaimana pemerintah kabupaten sederatan Flores memanfaatkan femenonan yang sedang melanda Bali – modernisasi yang merambat Bali dan mengikis habis nilai-nilai budaya, pergaulan, dan perubahan alam yang tidak alami lagi. Pertumbuhan kota Denpasar yang tak terbendung, tingkat populasi yang semakin tinggi, Bali berpotensi seperti Jakarta yang macet dan rawan banjir. Tugas berat sedang diemban pemerintah provinsi Bali saat ini, meretas macet yang mengancam kenyamanan kota Denpasar. Bukan tidak mungkin, Bali ditinggalkan para turis karena terlampaui ramai dan berisik. Mereka mencari alam yang ‘perawan’ , belum terjamah tangan modernisasi yang gencar menggerayangi bangsa ini.

Inilah moment yang tepat, mengalihkan perhatian para turis ke Flores. Bukan tanpa alasan! Flores memiliki daya potensi yang tak kalah bersaing dengan Bali. Keindahan alam dan budaya menjadi kazanah pariwisata mumpuni di jagad ini. Flores memiliki alam yang rupawan. Pantai nan permai. Kelimutu, Waera, Pantai Pede, dan sebagainya yang tidak kalah eksotis Kuta, Dreamland dan sebagainya. Tradisi dan budaya lokal yang masih mengakar. Tari caci, rebha, etu, dan sebagainya merupakan produk leluhur yang belum luntur oleh perubahan zaman. Ritual Jumat Agung di kota Renha yang menghenyak dunia . Tangkapan ikan paus yang mempertontonkan ksatria pelaut Lamalera tiada tara. Komodo dan Riungnensis yang jadikan Flores unik atau Tri Warna Kelimutu yang menghantar Flores terekspose di candramuka dunia. Dan masih sederet lagi pesona alam, budaya dan mungkin juga binatang yang mampu menghipnotis pengujung datang.

Jika pariwisata menjadi leading sector pembangunan di Flores, maka para pemimpin harus memiliki porgram yang sinergis satu sama lain-lain. Harus ada komitmen bersama untuk mewujudkannya. Tidak sekedar sloganistis! Komitmen untuk menentukan “titik-titik perhentian” para turis. Sebagai misalnya, para turis tidak hanya turun di Labuanbajo lalu kembali ke Bali, melainkan harus melanjutkan tinggi persinggahan berikut di kabupaten lainnya di sebelah timur. Untuk itu perlu rancang bangun bersama program pariwisata sehingga program yang atomistik (kabupaten) berdampak holistik (pulau Flores) benar-benar adanya dan berkelanjutan sekalipun peralihan estafet kepemimpinan. Tidak ada kepincangan antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lainnya. Karena kenyataan potensi pariwisata ada seluruh wilayah kabupaten di Flores.

Flores sesuai namanya. Bunga yang hidup karena pesonanya. Decak pelaut Portugis, “cabo da flora”, ketika berlabuh di tepi laut di ujung timur, merupakan ungkapan nyata akan pesona keindahan Flores. Flores tidak sekedar sebuah nama. Flores memang indah adanya. Ia menjadi bunga bangkai atau bahkan bunga mati, jika potensinya tidak dikelola secara baik. Pesona alam dan budaya menjadi bunga yang terpendam keindahannya. Keindahan bunga itu terpancar dari alam dan budayanya. Kini saatnya Flores bangkit menjadi pesona dunia melalui alam dan budayanya - bukan aneka tambangnya. ***
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 6:39 PM

Budaya Indonesia dan Cina Berpadu di Pesta Lamp10n Ultah GlobalTV

 GlobalTV menggelar acara puncak Konser Musik Spesial Lamp10n 100% untuk merayakan dan memeriahkan semarak hari ulang tahunnya ke-10. Acara bertajuk Pesta Lamp10n ditayangkan Senin (8/10) mulai pukul 19.00 WIB secara live dari Studio 8.

Pesta Lamp10n hadir membawa keistimewaan untuk masyarakat. GlobalTV akan menyulap Studio 8 menjadi spektakuler dengan pertunjukan di atas panggung pada kedua sisi ruangan. Set panggung dengan nuansa etnik dengan susunan bambu-bambu yang artistik dan orkestra bertingkat, Pesta Lamp10n sengaja menggabungkan antara budaya Indonesia dan Cina.

Aksi panggung menawan seperti iringan tarian budaya Indonesia dengan kostum pengisi acara yang indah, berasimilasi dengan budaya Cina yang berwarna-warni. Kolaborasi serasi dan unik antara dua genre musik yang berbeda bersatu dalam aransemen musik seru.

" Pesta Lamp10n merupakan konser musik puncak dari konser musik spesial Lamp10n 100% yang telah hadir untuk pemirsa mulai dari bulan Januari hingga September di tahun 2012 dengan tema yang berbeda-beda setiap bulan," ungkap Endang Mayawati, Direktur Produksi GlobalTV mengatakan, dalam rilisnya.

" Konser musik ini adalah hasil kerja keras seluruh tim GlobalTV yang telah menyusun rangkaian konser musik spesial dan tentunya di hari jadinya yang ke-10 GlobalTV ingin mempersembahkan sebuah konser musik yang sangat spesial kepada pemirsa setianya di seluruh Indonesia yaitu Pesta Lamp10n," tandasnya.

Artis Luna Maya dan Deni Sumargo dijadwalkan akan menjadi host ultah televisi yang lahir 8 Oktober 2002 itu. Aksi-aksi menakjubkan siap disuguhkan oleh Wali, Kotak, Cherry Belle, Coboy Junior, Armada, Judika, Ayu Ting Ting, Citra Scholastika, Budi Doremi, Bunga Citra Lestari, Geisha, JKT48, The Changcuters, Trio Macan, Raisa, Zaskia, Regina dan Sean.Mereka akan memanjakan pemirsa di rumah maupun penonton di studio. Setting panggung yang dramatis juga akan berpadu dengan iringan simfoni alunan musik harmonis dari Oni " N Friends Orchestra.

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 11:02 PM
 
Join Our Group On Facebook
Follow Us
Support Us With Your Advertise

VESAM ETNIK

VESAM ETNIK
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger