Oleh : Tobby Ndiwa, SH *)
Patut kita bersyukur terpilihnya Joko widodo menjadi presiden ke tujuh Republik Indonesia sedikit membawa angin segar terhadap pembangunan di wilayah Indonesia bagian Timur lebih khususnya propinsi seribu pulau Nusa Tenggara Timur (NTT).
Saking Fokusnya Jokowi terhadap NTT di tahun 2015 saja dalam setahun ia berkunjung sampai tiga kali (sumber-detikom) di propinsi yang sering di plesetkan NTT sebagai Negeri Tanpa Tuan, Nanti Tuhan Tolong dll. Bahkan beberapa dekade terakhir NTT selalu menyematkan prestasi sebagai propinsi termiskin dan terkorup.
Salah satu kendala atau bencana yang sering melanda NTT adalah minimnya curah hujan yang sangat mempengaruhi terhadap rendahnya produktifitas pertanian sehingga sangat berpengaruh kepada kwalitas hidup masyarakatnya.
Karena pentingnya air sebagai salah satu sel kebutuhan primer, maka niat baik pemerintah untuk membangun beberapa waduk di NTT patut kita dukung. Tentu harus memperhatikan hak dan kewajiban antara pemerintah dan masyarakat lebih khusus kepada masyarakat yang objek tanahnya akan dijadikan lokasi waduk, termasuk rencana pembangunan waduk Lambo itu sendiri.
Sebagai kabupaten baru Nagekeo di beberapa kasus dilanda pusaran konflik pertanahan, diantaranya antara pemerintah melawan perorangan juga kelompok ulayat satu dengan yang lain. Misalnya sengketa lahan gedung DPRD sampai masuk upaya hukum tertinggi dan dimenangkan penggugat.
Dari sisi Yuridis tentu pihak yang kalah harus mengganti kerugian apabila bangunan yang sudah menghabiskan uang Negara dengan nilai milyaran rupiah itu nantinya tetap akan dipergunakan. Atau tanpa ada ganti kerugian, pihak yang kalah wajib mengembalikan lahan tersebut kepada pemilik lahan yang menang dalam sengketa kepemilikan hak tersebut karena sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsd).
Contoh konflik lain adalah sengketa tanah suku antara suku Lambo dan Toto yang menimbulkan korban, yang sampai saat ini belum ada kepastian secara Yuridis. Bagi penulis, kepastian secara Yuridis sangat penting karena semakin maju peradaban manusia sejalan dengan tuntutan ekonominya serta semakin banyak populasi manusia tanah menjadi objek yang sangat vital. Untuk itu pola pendekatan social budaya tidak lagi efektif di era sekarang ini.
Dengan kata lain pembebasan lahan untuk kepentingan umum tidaklah cukup kalau hanya mengandalakan pendekatan di atas. Disini pemerintah harus menyiapakan win win solution agar bisa memuaskan semua pihak, khususnya pihak korban pembebasan lahan.
Meski dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa: Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Disni bukan berarti pemerintah dengan sewenang-wenang untuk mencaplok tanah rakyat. Kita tidak boleh menafsirkan bunyi pasal ini secara gamblang, karena ada payung hukum lain sebagai rujukan untuk kepentingan korban pemilik lahan yang dibebaskan.
Berikut yang harus diketahui para pihak yang dihimpun penulis dari beberapa sumber. Penjelasan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.2 tahun 2012 dikatakan bahwa pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.
Besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah ditetapkan oleh penilai (lihat pasal 33 Jo pasal 32 UU No.2 Thn 2012). Penilaian ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan (lihat Pasal 31 ayat (1) UU No.2 Thn 2012. Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh penilai merupakan nilai pada saat pengumuman lokasi penetapan pembangunan untuk kepentingan umum ( lihat pasal 34 ayat (1) UU No.2 Thn 2012).
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai public (lihat pasal 63 Pepres No.71 Thn 2012 ttg Penyelenggara Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan Umum). Nilai ganti kerugian berdasarkan penilai tersebut menjadi dasar Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian ( lihat pasal 34 ayat (3) UU No.2 Thn 2012.
Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 37 ayat (1) UU 2.Thn 2012). Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2. Thn 2012).
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2.Thn 2012).
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU 2.Thn 2012).
Pengadilan negeri memutus bentuk dan atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2.Thn 2012).
Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat (3) UU 2.Thn 2012).
Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4) UU 2. Thn 2012).
Putusan pengadilan negeri dan atau Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan (Pasal 38 ayat (5) UU No.2.Thn 2012).
Jika pihak yang berhak menolak bentuk dan atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No.2 Thn 2012, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah (Pasal 39 UU No.2 Thn 2012).
Melihat dari ketentuan-ketentuan di atas, jika Anda dan para pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil perundingan, maka Anda dapat mengajukan keberatan pada pengadilan negeri setempat.
Tanah anda tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal 5 UU No.2 Thn 2012, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selama belum ada ganti kerugian dari pemerintah kepada pemilik lahan,maka anda tidak wajib melepaskan tanahnya. Apabila ganti kerugian telah beres secara terang dan tunai maka langkah selanjutnya adalah membuat akta pelepasan hak, dari pemberi hak yaitu para pemilik tanah kepada penerima hak yang baru dalam hal ini pemerintah, untuk diporses sertifikasi. Sehingga dikemudian hari tidak terjadi pengklaiman sepihak.
Saran penulis, sudah saatnya Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nagekeo mulai menginventarisir semua tanah yang ada di wilayah Nagekeo selanjutnya dibuatkan sertifikasi. Lebih-lebih obyek tanah ulayat wajib dibuatakan sertifikat atas nama ulayat atau suku tertentu dengan mencantumkan nama-nama masyarkat ulyatanya,sehingga bisa meminimalisir potensi konflik tanah dimasa yang akan datang.
Selain itu bisa menghindari praktik jual beli tanah ulayat secara sepihak oleh oknum-oknum tertentu. Artinya transaksi atau jual beli tanah ulayat wajib mengetahui perwakilan ulayat atau ahli waris ulayat yang tercantum di dalam sertifikat tanah ulayat yang bersangkutan.
Menurut penulis salah satu faktor terseoknya pembangunan di Nagekeo adalah konfilk tanah yang terus menghantui para pengambil kebijakan di Nagekeo selain faktor-faktor lain. Kiranya sengketa lahan pembangunan Gedung DPRD,perumahan Malasera menjadi pelajaran penting, agar tidak terjadi lagi dalam proses pembebasan lahan pembangunan waduk Lambo.
Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian kiranya bisa menjadi warning kepada semua pihak,sebagai langkah antisipasi agar pembebasan lahan untuk kepentingan publik yang akan datang,perlunya koordinasi yang baik antara pemerintah dan calon pemilik lahan yang akan dibebaskan sehingga bisa memuaskan semua pihak.
Kepada masyarakat pemilik lahan tentunya meminta ganti rugi yang wajar dan tidak terlalu memaksa atau mematok nilai tanah yang ditawarkan,bagaimanapun niat baik pemerintah dengan mendirikan waduk Lambo, tidak saja untuk kepentingan kita saat ini,tetapi untuk generasi kita yang akan datang. Sehingga generasi Nagekeo kelak bisa menikmati ‘’Sumber aer su dekat“ serta bisa meningkatkan produktifitas pertanian Nagekeo itu sendiri. (tn)
(Referensi; UU No.2 Thn 2012, Pepres No.71 Thn 2012, www.hukumonline.com)
*) Penulis adalah staf litigasi hukum untuk PT. Summarecon Agung Tbk-Jakarta. Alumnus Universitas Bhayangkara Jakarta
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul RENCANA PEMBANGUNAN WADUK LAMBO – NAGEKEO,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel RENCANA PEMBANGUNAN WADUK LAMBO – NAGEKEO ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link RENCANA PEMBANGUNAN WADUK LAMBO – NAGEKEO sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 9:52 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos