Soge Soo, yang juga pemilik Florasta Indonesia dengan brand populernya, Pendugu, menyatakan sangat prihatin dengan berkembangnya batik corak tenun cetakan yang saat ini sudah digandrungi lantaran harganya yang terjangkau dan bahannya fashionable.
Ironisnya, Pemerintah Daerah (Pemda) Nagekeo justru menjadikan batik corak tenun cetakan sebagai seragam instansi pemerintah daerah.
Saat ini batik cetak motif tenun sudah menjamur di seluruh NTT. Untuk Flores sendiri, yang paling pertama berkembang adalah di Ende. Hal ini karena motif Ende Lio lebih mirip dengan motif batik. "SALUT untuk Maumere yang sudah berhasil mengeluarkan PATEN untuk tenun ikatnya," tulis Soge Soo di wall Nagekeo Bersatu (ENBE).
Soge Soo berharap Pemda Nagekeo memilih mengembangkan produk kain tenun Nagekeo sendiri. "Salah satu cara adalah dengan inovasi produk turunan dari kain tenun itu, juga meningkatkan "usage"," tulisnya.
Hingga hari ini sebagian besar masyarakat Nagekeo hanya menyimpan kain tenun sebagai benda keramat yang hanya dipakai saat-saat tertentu saja.
"Coba dikembangkan program event yang terus menerus untuk meningkatkan "usage". Peran Koperindag juga sangat dibutuhkan untuk meng-create produk-produk inovasi," tulis Soge Soo, sambil menambahkan bahwa saat ini di Jakarta publik sudah mulai suka dengan produk tenunan Nagekeo.
Untuk di Jakarta, Kabupaten Ende sudah memiliki Museum tenun ikat, salah satu upaya pemda Ende dalam memberi perlindungan terhadap hasil karya budayanya.
"Saya pikir kita boleh meniru sesuatu yang baik. Kita bisa mendirikan semacam PUSAT Kerajinan tenun atau sejenisnya, dimana masyarakat, baik pengrajin maupun end user bisa mendapatkan informasi lengkap tentang material tenun kita. Semoga Pemda Nagekeo melalui Dinas perindag mulai lebih konsen tentang ini," demikian tulis Soge Soo.
Komentar
Ludovikus Ndona Wini: Terjadi pergeseran: dari kain adat menjadi kain bisnis. Kendati mungkin kain cetak itu lebih indah tetapi ia "kehilangan" roh Nagekeo-nya. Pemda Nagekeo mesti dapat menanggapi fenomena ini secara bijak supaya para perajin tetap dapat melanjutkan karya mereka sekaligus menjaga kelestarian adat-istiadat kita.
Yosef Juwa Dobe Ngole: Karena kain tenun menyerap emosi pembuatnya, dan apabila dimanfaatkan untuk kebutuhan apa saja di luar adat seperti ada aura yang keluar darinya sehingga memberi kesan indah dan anggun. Beda dengan kain yang dibuat pabrik indah sesaat lalu hilang begitu saja. kita pencinta product budaya, kita tetap berkreasi tapi tanpa sedikit pun ke luar dari akar budaya kita.
Felix Siga: Sangat setuju kita galakan pelestarian kain tenun daerah kita NTT. Paradigma utk mencintai tenun asli itu harus lebih digalakan oleh kita yg hidup di Kota2 besar. Dengan demikian kegairahAN mama-mama kita di NTT utk selalu melestarikan budaya menenun semakin mengakar. Betul sekali bhw dalam setiap untaian benang yg dirajut disana ada "roh" dan doa, shg Siapa saja yg memakai kain tenunan tsb, seolah memiliki ikatan batin dengan sang pembuat dan juga kampung halaman kita NTT. Mari Bangun NTT dgn selalu memakai kain tenun NTT pada even apapun.
Hilarius Giu: Sekedar membagi pendapat, motif kain tenun daerah NTT dan Flores khususnya memang harus digalakkan, namun perlu dibimbing dan diberikan kepercayaan modal serta menjaga mutu. Kalau hanya demi mengurus adat setempat akan berputar-putar di tempat yang sama. Daerah tropis sangat cocok untuk membudidayakan tanaman kapas sebagai bahan baku benang. Parat pengrajin tenun mengalami kesulitan dengan bahan baku kain tenun karena memperoleh benang dengan harga yang sangat mahal, sehingga mutu masih jauh dari apa yang diharapkan. Mungkin ke depan Pemda perlu memperhatikan juga para pengerajin di NTT umumnya atau Flores Khususnya karena itu adalah modal untuk memperdaya ekonomi mikro masyarakat dan memperbaiki kesejahteraam masyarakat. Fakta menunjukkan kaum muda saat ini tidak dibekali dengan latihan untuk meneruskan pembuatan kain ikat tenun, kalaupun ada hanya segelintir orang saja. Bila itu dibiarkan akan menjadi petaka di kemudian hari, sehingga warisan leluhur akan dikenang lewat cerita.
Ludovikus Ndona Wini: Setuju dengan semua gagasan brilian yang disampaikan. Yang penting adalah bahwa kain tenun tradisional tidak kehilangan ikatan dengan adat-istiadat Nagekeo. Justru di situlah letak "sakralitas" kain tenun. Modifikasi mungkin saja dilakukan tetapi tidak bisa dilepaskan dari "akar sejarah" kain tenun adat. Saya ingat salah satu konfrater saya, orang Belanda, yang menjadi promotor/pegiat kain tenun adat Dayak di wilayah Kab. Sintang, Kalbar. Dia membentuk kelompok perajin, menyediakan bahan, membentuk koperasi para perajin, juga membuat katalog yang berisi foto dan informasi mengenai setiap hasil tenun para ibu itu. Pada setiap kain ditemukan kisah yang berbeda. Di dalam selembar kain, kolektor atau pembeli dapat menelusuri kekayaan warisan nenek-moyang orang Dayak dari pelbagai subsuku. Saya membayangkan hal itu bagi kain tenun adat kita. Mestinya, di dalam kain tenun itu ditemukan kisah mengenai kekayaan kuklltural Nagekeo. Demikian sedikit urun-rembug dari saya. Semoga semakin banyak kaum muda, intelektual muda Nagekeo bisa ikut memikirkan hal ini lebih lanjut.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul George Soge Soo: Tolak Batik Cetak Motif Tenun Nagekeo,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel George Soge Soo: Tolak Batik Cetak Motif Tenun Nagekeo ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link George Soge Soo: Tolak Batik Cetak Motif Tenun Nagekeo sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 2:04 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos