Oleh Martin Theodore (Martinus Mai)
Sahabatku, nampaknya genap sudah kekwatiran masyarakat kita atas tidak keberpihakan pemimpin kita terhadap rakyat. Di tengah pergolakan ekonomi rakayat yang terombang-ambing oleh berbagai kemelutan, serta kelangkaan di berbagai dimensi. Pemerintah malah, sempat-sempatnya merampas harta satu-satunya milik rakyat.
Menanggapi tulisan Julius Jera Rema, mengenai “Nani Aoh di Pusaran Konflik Malaruma”, saya menjadi miris dan sedih, dimana kami masyarakat kecil tidak ada yang berpihak, kendanti merampas kami hanya berpasrah.
Bukan soal kelegalitas, atau masalah prosedural, atau masalah sengketa tanah milik suku itu atau suku ini. Melainkan minimnya kebijakan pemerintah dengan mencoba melenyapkan sumber-sumber nafkah milik rakyat. Tambah lagi rendahnya imajinasi pemimpin akan ancaman-ancaman ekonomi di masa mendatang, seakan menopang sendi-sendi ini, untuk berontak.
Saya mengatakan pemimpin telah melenyapkan sumber-sumber nafkah rakyat, dibumbuhi rendahnya imajinasi adalah suatu perasaan kekecewaan yang mendalam.
Jika pemerintah memahami ekonomi kerakyatan, pasti pemerintah akan berusaha bagaimana memperluas areal persawahan, areal pertanian, atau areal perikanan. Bukan membangun gedung-gedung seperti di Jakarta sebagai tempat-tempat pelindung para koruptor.
Mengapa harus merampas lahan seluas 30 ha, sementara harus menyempit areal pertanian. Bukankah masih ada tanah non produktif lainnya, tempat berdiri gedung-gedung mewah yang seakan memancarkan butir-butir arogan ?
Gedung boleh berdiri tapi kita tidak pernah akan melihat padi yang menguning, atau hijauhnya daun sayur-sayuran. Masyarakat kehilangan lahan tempat beradu nasib, sementara pemimpin buntu mencari jalan menuju rakyat sejahtera.
Dalam tulisanku “Borneo (Kalimantan) di tahun 2070”, saya telah memaparkan bagaimana pemuda-pemudi dayak kesulitan mencari sebidang tanah hanya untuk sekedar membuang air kencing, apalagi untuk menanam buah, rotan, racun sumpit, berburu, dll. Itu bukan suatu ilusi, atau kekawatiran belaka, semua akan genap, apabila penambang liar, exploitasi, penebangan liar, dan pelelangan tanah tetap menjadi hobi di negeri ini.
Lalu mengapa kita membangun gedung diatas tanah produktif, di atas tanah rakyat kita ? Apakah hati kita akan lebih tegar melihat rakyat kita kesulitan mencari sebidang tanah untuk menanam serumpun pisang, serumpun singkong apalagi sepetak sawah ?
Kami Bersuara Karena Nasib Kami.
Semangat membangun Nagekeo.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Bulir-bulir padi yang tak lagi menguning di balik megahnya gedung pemerintahan,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Bulir-bulir padi yang tak lagi menguning di balik megahnya gedung pemerintahan ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Bulir-bulir padi yang tak lagi menguning di balik megahnya gedung pemerintahan sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 9:00 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos