Oleh Rusni Rockabilly
Hari ini (Kamis 14 Maret 2013) baru berakhir debat Cagub Cawagub NTT dan ketika saya menyaksikan debat cagub cawagub NTT saya mencatat bahwa ini sebagai sebuah marketing politik yang tak kalah pentingnya selain kampanye terbuka, sebuah gambaran lain tentang takaran-takaran yang bisa kita uji dalam satu wadah, sebuah komunikatif yang hirarkis dimana antara calon pemimpin oleh yang mau dipimpin bisa menilai, lebih mirip semacam uji kepatutan dan kelayakan secara tidak langsung.
Debat ini mengantar saya untuk kembali mengingat akan paket Cagub Cawagub dari Jabar dan Jakarta belum lama ini yang melahirkan fenomena politik baru yang syarat pelajaran politik tetapi juga pekat keindahan-keindahan dari seni berpolitik itu sendiri, bagaimana anda melihat baju kotak-kotak Jokowi-Ahok membanjiri Senen, menjadi booming diantara kader-kader partai pengusung dan masyarakat pendukung, kemudian di jadikan brand ulang oleh Rieke-Teten dengan motif kotak-kotak yang sedikit melebar dengan harapan mendulang sukses.
Kotak-kotak seolah-olah menemukan idiom baru dalam kosa kata bahasa Indonesia, kotak-kotak adalah jokowi-ahok!. Pada PILKADA Jabar Anda bisa melihat maneuver politik selebriti yang sering menghiasi layar-layar telivisi mulai dari Rieke Diah Pitaloka, Dedy Yusuf hingga Dedy Miswar yang seolah-olah menegaskan bahwa artis bukan cuma memahami fashion, digosipkan kawin cerai, membuat 3gp video mesum sampai make up tebal 5cm untuk mentup maksila yang menonjol tetapi artis juga bisa menjadi sebuah representasi perpaduan yang harmoni antara popularitas, fisik yang rupawan, dan pengetahuan yang bagus sebagai syarat jualan politik .
Tapi sayang NTT bukan Jabar yang menyumbang 1/5 jumlah penduduk Indonesia, yang melahirkan kaum cindikiawan republik ini dengan mempunyai hampir 3/4 perguruan tinggi terbaik , NTT juga bukan Jabar tempat lahirnya sineas-sineas berbakat yang akhirnya memilih menjadi calon gubernur, NTT tidak ada Aceng yang melakukan blunder perkawinan kemudian karir politiknya dinyatakan tamat oleh DPRDnya sendiri.
NTT bukan Jakarta, yang selalu menjadi barometer kemajuan, pusat perputaran uang paling mengaharu biru dari uang hasil korupsi hingga industry NARKOBA skala besar, dari uang suap sapi impor sampai proyek pencucian uang simulator SIM POLRI, NTT tak punya Monas tempat anas siap meringkus jika terendus korupsi hambalang. NTT ya NTT, beberapa orang bilang NTT adalah sebuah penegasan akan Nasib Tak Tentu, sebuah daerah kepulauan yang eksotik budayanya yang sama besar dengan eksotik kemiskinannya, sama besar dengan eksotik kurang gisi yang melilit betul-betul hingga ke Usus, yang sama besarnya dengan ekstotik masalah pertambangan yang tidak berkontribusi bagi kemakmuran rakyat dan melahirkan masalah lingkungan dan begitu banyak “eksotisme” lainnya.
NTT sejak zaman Hindia Belanda di Batavia (sama nasibnya dengan pemerintahan Jepang dan pemerintahan sentralisme Soekarno dan Soeharto dan selama berdirinya Negara RI) mengalami politik diskriminatif sejak dulu hingga sekarang.
Di kawasan Jawa dan Sumatra karena kekayaan dan sumber khas Negara yang utama, pemerintah menerapkan sisitim control “wealth management” agar pemerintah selalu mengalami surplus value pada akhir tahun anggaran.
Dua pulau ini selalu menjadi usaha pokok dalam kerjasama korporasi unit dan korporasi utama di eropa kekayaan dan keuangan harus dikelola diatas sistim sentralistis dan langsung di bawah kompetensi kepala pemerintahan dan NTT seolah-olah menjadi sebuah cerminan akan kaum kelas dua di pertiwi ini sampai sekarang nasibnya tidak berubah, dan bukan inlander seperti di jawa dan Sumatra (dari dulu sekarang dan mungkin selama-lamanya) saya masih berharap semoga tidak pernah diaminkan oleh orang-orang NTT yang menginginkan angin perubahan berhembus cepat, oleh orang-orang yang ingin membangun NTT, oleh kelima pasang cagub dan cawagub yang berdebat 30 menit.
Dalam peta geopolitik yang berada pada operating room kepala pemerintahan dengan staf-staf hariannya, NTT dan semua pulau, kecuali Jawa dan Sumatra masuk katogori wilayah geopolitik “Buitengeweten”(wilayah luaran, marjinal), “Buitenbezittingen” (wilayah hak milik tambahan, luaran) bagi pemerintah sepanjang masa di Jakarta, pulau-pulau itu lebih kepada sebuah kutukan alam bukan sebagai rahmat.
Sekelumit masalah yang tumpang tindih di NTT sebagai suatu bagian sejarah keterpinggiran yang selalu menyedihkan selalu terkalahkan dan mendapat posisi marjinal, diskriminatif, tapi harus bangkit lagi, melawan lagi, berjuang lagi meski kemudian akan kalah lagi.
Sebuah perlawanan akan rasa takut untuk mulai lagi karena belajar terus dari kegagalan dan kekalahannya dan kini bukanlah soal kalah dan menang tetapi berada dalam permainan ini sebagai sebuah trasendesi kehidupan. NTT yang seluas 4 734 990 Hektar, melahirkan 1 000.29 orang dari 4 776 485 penduduk, angka yang mengerikan untuk wilayah kepuluan luar sebagai pintu masuk kerja sama ekonomi regional yang berdekatan langsung dengan Timor Leste dan Australia.
NTT dihadapkan Pada tuntutan perubahan lingkungan strategic environmental setting yang sangat dinamis yang ditandai dengan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, Gaung akan pentingnya percepatan pembangunan kian hari kian besar namun kadang-kadang fakta di NTT ini masih jauh darih cerah, berbagai fenomena mulai dari input, proses, output sampai dengan outcome dalam sistim yang berlaku menimbulkan masalah dalam masyarakat, yang sampai saat ini belum terpecahkan.
Namun sekelumit cerita dan sepenggal kisah diatas bukanlah teramat sulit untuk diatasai, bukanlah pahit yang harus kita telan selamanya, kita masih punya hari esok masih punya harapan akan angin kencang perubahan dari ke lima pasang calon pemimpin NTT dari mereka kita bisa mengukur kenaikan tingkat evolusioner dari social change di NTT dari saat mereka dipilih hingga 5 tahun ke depan.
Dengan mengakui kelemahan NTT seperti diatas ada sisi lain yang perlu pula dilihat bahwa kekuatan tentang suatu pengakuan terbuka lebenserlebnis yang otentik dan intensif selalu memukau. Karena itu lapis demi lapis masalah yang ada diharapkan bisa menghasilkan suatu khatarisis, sebuah acuan saringan yang baik untuk kopi nikmat perubahan di setiap seduhan masyarakat NTT.
Tidak bermakna kalau dia berhenti disana ia akan bermakna kalau menghasilkan suatu rancangan baru ke depan dalam bentuk perubahan yang mendasar, suatu metanoia. Semua tulisan ini menyiratkan harapan perubahan itu, namun kita semua tidak tahu apa jenis perubahan ke depan yang terlalu jauh, tetapi bisa merasakan kalau suatu perubahan itu pasti terjadi NTT tercinta.
Selamat menikmati pesta kita di tanggal 18 Maret 2013.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul "SEBUAH CATATAN MENJELANG PILKADA NTT",, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel "SEBUAH CATATAN MENJELANG PILKADA NTT" ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link "SEBUAH CATATAN MENJELANG PILKADA NTT" sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 8:46 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos