From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Kembali ke Fitrah Tujuanmu: KULIAH!

Kembali ke Fitrah Tujuanmu: KULIAH!

Written By Unknown on Tuesday, March 26, 2013 | 5:43 PM


Oleh Giorgio Babo Moggi

(Catatan untuk Mahasiswa Asal NTT di Yogyakarta)

Sebagai alumnus salah satu PT di Yogyakarta, saya miris dan sedih membaca berita pembantaian di Lapas Cebongan Sleman. Salah seorang diantara yang tewas adalah mahasiswa, alm. Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Atas alasan apapun, peristiwa itu mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kematian Dedi adalah refleksi kita semua.

Kepergiannya meng-‘alarming’ mahasiswa asal NTT di Yogyakarta untuk kembali ke fitrah tujuannya, yakni KULIAH! Tulisan ini berupa sekelumit sharing pengalaman, kritik dan sumbang saran pikiran untuk mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.

***

Saya masuk Yogya tahun 1995. Ketika itu Yogya masih berwajah ‘pedesaan’. Belum berwajah modern seperti sekarang. Sawah-sawah membentang di pinggiran kota. Yogya diselimuti sepi. Keramaian pun hanya terpusat di jantung kota. Keadaan yang mencerminkan Yogya damai, teduh, dan asri. Di sana saya merangkak dari Bimbingan Belajar, Diploma III hingga Strata I. Sebuah rentang perjalanan akademis yang panjang dan melelahkan serta nyaris membosankan.

Suasana kota yang kondusif, biaya hidup yang murah dan tersebar berbagai perguruan ternama, menjadikan Yogya daya magnit mahasiswa luar pulau Jawa mendulang ilmu di sana. Mahasiswa asal NTT terwakili oleh semua kabupaten. Perkumpulan yang semula hanya paguyuban provinsi kemudian ‘beranak-pinang’ perkumpulan kabupaten. Perkumpulan kabupaten ‘beranak cucu’ lagi menjadi ikatan kekeluargaan berdasarkan wilayah kecamatan. Sebuah gambaran peningkatan jumlah mahasiswa asal seantero NTT yang tajam di Yogyakarta.

Suasana Yogya yang ‘adem’ kala itu menyebabkan banyak mahasiswa NTT terlena. Mereka yang dikenal cerdas di almamater sekolah menengah, menjadi ‘mapala’ (mahasiswa paling lama) di kampusnya. Mereka terjebak dengan idealisme selangit, sibuk urus organisasi, sibuk main bola kaki dan berjudi, bahkan ada yang tidak punya kesibukan sama sekali. Manajemen diri yang tidak baik menyebabkan mahasiswa drop out. Hidup menjadi tidak teratur dan terjerumus perilaku hidup yang mabuk-mabukan dan salah bergaul terjerumus gaya hidup preman.

Di lingkungan akademis, mahasiswa NTT yang berprestasi dapat dihitung dengan jari. Mereka yang pandai-cerdas, IPK mereka melejit di semester-semester awal. Di pertengahan atau akhir semester prestasi mereka ‘melempen’ tak berdaya. Waktu kuliah pun bisa diselesaikan lebih dari satu dekade. Ada banyak ragam alasan seperti kiriman terlambat dan sebagainya. Itulah mahasiswa NTT yang dikenal pandai, pandai pula mencari alasan.

Sebaliknya di luar lingkungan pendidikan, di lapangan atau panggung-panggung pesta, mahasiswa NTT selalu terdepan. Sayangnya, tidak jarang dalam ajang itu pula, mahasiswa NTT menjadi biang kerusuhan, perkelahian dan percekcokan. Perseteruan yang berujung bentrok mahasiswa antar kabupaten se-NTT marak terjadi, bahkan dengan mahasiswa diaspora luar NTT.

Kasus Hugo’s Cafe menampakan kekelaman atau kekerasan yang dilakonkan oleh pemuda/mahasiswa NTT, dari pinggiran lapangan, panggung-panggung pesta menuju pusat hiburan ternama. Sebuah perkembangan yang luar biasa yang merambat kehidupan pemuda/mahasiswa NTT di luar kampus.

***

Banyak kisah yang menorehkan kekelaman wajah mahasiswa NTT di Yogyakarta. Kekerasan seolah-olah melekat dengan mahasiswa asal NTT. Banyak peristiwa kematian sia-sia karena perilaku hidup negatif. Bicara mabuk sudah menjadi bagian dari hidup mahasiswa NTT. Jika ada mahasiswa yang baru datang pasti bicara soal mabuk saja. Bicara hal-hal yang hebat-hebat, yang sebenarnya tidak menyentuh sama sekali dengan kehidupannya kelak. Mahasiswa tipe ini muda ‘dipalak’ oleh senior-senior yang berperilaku serupa. Apalagi mereka yang sedang mencari jati diri mudah disulut terlibat dalam perilaku premanisme. Mungkin ini yang dialami seperti adik atau saudara kita Dedi yang lugu dan baik ini.

Yogya adalah kota pelajar. Sungguh disayangkan label ‘pelajar’ tidak menjiwai mahasiswa NTT dalam perilaku hariannya. Kita mungkin jarang jumpai mahasiswa NTT yang berburu atau sekedar baca-baca di pasar atau toko buku seperti Gramedia dan Shopping Center. Kita jarang pula menjumpai mahasiswa yang memiliki buku berak-rak. Sebaliknya mudah ditemukan botol-botol kosong seperti bir, vodka, anggur merah, toping miring di sudut kamar atau kos.

Bahkan ada di antara mereka yang terjerumus dengan penggunaan narkotika seperti ganja atau sabu-sabu. Umumnya mereka berangkat kampus bermodalkan sebuah buku yang dilipat dan disisipkan di saku celana belakang. Sementara asap Malboro, LA, Sampoerna Merah atau GG Filter mengepul baik di dalam angkutan atau di emperan kampus.

Hal ini akan terasa pada awal bulan. Ketika bulan tua, dompet sudah semakin menipis, perilaku pun berubah drastis. Beli rokok tidak lagi sebungkus melainkan batangan. Dompet pun berubah fungsi menjadi kotak rokok batangan. Namun, kadang kala mereka tidak kehilangan akal untuk memenuhi hasrat mabuk dengan cara patungan. Perilaku ini sering bikin geram tuan kos dan masyarakat di sekitarnya. Jika mereka sudah mabuk, maka bawaannya reseh dan ribut.

***

Terkumpul orang NTT pada suatu tempat ada baiknya juga. Solidaritas sesama mahasiswa perantau terjamin. Sebaliknya, kosentrasi orang NTT yang terpusat bisa menjadi bahaya laten bagi mahasiswa NTT itu sendiri. Kesalahan satu dua orang maka akan berdampak pada mahasiswa NTT yang lain.

Alangkah baik mahasiswa NTT harus mampu melebur diri dengan mahasiswa lain yang berbeda suku atau agama. Sederhananya memilih kos yang heterogen atau paling tidak, bukan dominan mahasiswa NTT. Orang mungkin bilang anda sombong, tapi sebenarnya tidak, supaya anda mengenal orang lain dari bebergai latarbelakang sosial maupun budaya. Sekalipun anda tinggal ‘terisolir’ dengan mahasiswa NTT, anda harus berupaya tetap aktif pada kegiatan mahasiswa NTT. Paling tidak cukup sebulan sekali bertemu sekedar ‘kangenan’ atau terlibat dalam organisasi kedaerahan.

***

Dari status kita sudah jelas, maka aktivitas pun harus bertalian dengan status itu pula. Saya tidak mengatakan rekreasi seperti pesta itu tidak penting. Perlu keseimbangan antara kuliah dan rekreasi. Banyak badan organisasi kampus yang bisa kita aktif menjadi anggota. Sayangnya, mahasiswa NTT sedikit yang terlibat. Bahkan ada yang merasa ‘alergi’ dengan alasan buang-buang waktu saja.

Jika tidak tertarik dengan organisasi kampus, anda bisa melibatkan diri dengan organisasi kemhasiswaan seperti PMKRI, HMI, GMNI, GMKI dan lain-lainnya. Dari organisasi ini banyak melahirkan bakal calon pemimpin. Saya saja sebutkan Elias Sumardi Dabur atau Melki Laka Lena (calon wakil gubernur NTT) merupakan contoh mahasiswa kala itu yang aktif di organisasi kemahasiswaan di atas. Sayang seribu sayang, tingkat partisipasi mahasiswa NTT dalam berbagai organisasi yang disebutkan di atas sangat minim.

Jika kampus atau organisasi kemahasiswsa ekstern kampus tidak memiliki ruang yang cukup untuk berkreasi, paguyuban kedaerahan bisa menjadi tempat mahasiswa untuk menjewantahkan ekspresi akademis. Semasa saya kuliah, saya terlibat di organisasi Keluarga Mahasiswa Flobamora Yogyakarta (KMFY), juga aktif di Ikatan Flobamora Yogyakara (IKF). Di sini saya mengenal banyak sesepuh seperti Bapak Yos Ilmoe, Bapak Robert Riwu Kaho, Bapak Piter Ladarigo, Bapak Yeremias Keban, Bapak Paul Petor dan beberapa sesepuh lainnya yang sangat pro aktif dengan kegiatan kemahasiswaan kedaerahan NTT. Selain itu saya berkenalan dengan para senior abang Yoseph Bay, abang Leo Ferdinand, abang Gode, abang Leksi Ladjajawa, sahabat Hironimus Emilianus Mbeko dan beberapa senior lain yang berasal dari daratan Timor dan Sumba. Saya belajar banyak hal dari mereka, dari soal beroganisasi hingga menulis.

***

Kehadiran asrama NTT di Tegalpanggung sebenarnya memiliki tujuan yang mulia untuk meringankan beban hidup mahasiswa yang kurang mampu. Sungguh disayangkan, kadang kala, asrama itu berubah menjadi ‘sarang’ pemabuk dan preman yang bertitel mahasiswa. Saya, juga anda miris, ketika asrama digrebek bagaikan sarang teroris. Pasti ada sesuatu yang salah di sana.

Asrama NTT sudah menjadi presenden yang buruk baik di mata mahasiswa NTT maupun masyarakat di sekitarnya. Masyarakat kesal dengan ulah mereka sehari-hari. Ada banyak rupa mereka lakonkan gaya hidup negatif yang mengundang antipati masyarakat sekitarnya.

Suatu waktu saya hendak mengikuti kegiatan di asrama. Karena saya tidak tahu alamatnya, saya tanya alamat kepada senior saya, abang Gode. Abang Gode bukannya langsung menunjukkan alamat asrama tersebut. Sebaliknya, ia menakut-nakuti saya.

“Greg, ketika anda tiba di sana dan tanya kepada masyarakat hanya dua kemungkinan saja. Pertama, orang akan menyambut anda dan menunjukkan lokasi asrama tersebut. Kedua, anda akan lari terbirir-birit dikejar oleh masyarakat sekitarnya.”

Penjelasan cukup singkat ini mengurungkan niat saya ke asrama tersebut. Abang Gode ada benarnya, mungkin asrama tersebut terlanjur diberi label “negatif” oleh masyarakat di sekitarnya. Sejak saya tinggal di Yogya hingga hari ini, saya pun tidak tahu persis apalagi ‘injak’ di asrama tersebut.

Akhir 2011 yang lalu saya bertugas di Yogya, setelah 8 tahun saya tinggalkan Yogya. Usai kegiatan saya jalan-jalan di sekitar Malioboro. Saya duduk di ujung Malioboro, depan hotel Garuda, lalu datang seorang ibu tua tanya asal saya. Setelah ia tahu saya dari NTT, ia pun langsung berkomentar soal perilaku mahasiswa NTT. Saya hanya tersenyum-tersenyum. Rupanya, perilaku negatif mahasiswa NTT sudah mewabah dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Yogya.

***

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya tetap bangga dengan pribadi ke-NTT-an saya. Banyak teman-teman kuliah saya dan ibu kos pernah bilang, “Orang NTT itu kaya-kaya ya? Banyak mereka yang kuliah di sini.” Sebuah apresiasi yang membanggakan dalam hati kecil saya, meskipun kenyataan NTT tidak kaya. NTT memiliki kumpulan masyarakat yang memiliki kaya semangat, merantau dan berpendidikan walaupun kesulitan mendera.

Di tengah kegaulan peristiwa Cebongan, saya tetap percaya akan ada perubahan dalam diri mahasiswa asal NTT. Pemabuk, preman dan sejenisnya hanya sebuah perilaku, bukan budaya yang mengakar dalam diri orang NTT. Karena perilaku, maka atribut-atribut negatif tersebut dapat ditanggalkan dari mahasiswa asal NTT. Kuncinya adalah TEKAD, KEMAUAN dan KONSISTENSI yang dimiliki mahasiswa asal NTT untuk MERUBAH DIRI.

***

Kepergian anak, adik, saudara kita Dedi yang tidak wajar merupakan tamparan bagi kita semua. Tamparan bagi kita masyarakat NTT. Mengapa ia harus pergi dengan lakon yang tragis?

Kesalahan Dedi tidak cukup menjadi alasan siapapun untuk membunuhnya. Tuhan yang lebih layak mengambilnya. Ia mati di ujung senapan kala kuliahnya belum usai. Ia mati muda oleh tangan-tangan yang tak bertanggungjawab.

Kita hanya bisa berdoa dan refleksi. Kita limpahkan pada Yang Kuasa memberikan ganjaran yang seadil-adil bagi yang bertindak tirani. Bagi, mahasiswa asal NTT di Yogyakarta, camkan, di balik kematian Dedi ada makna. Makna anda untuk kembali ke kitah tujuan anda semula anda injak kota Yogya : KULIAH. Dedi telah menjadi sang guru bagi anda semua. Ia menjadi korban kebengisan manusia. Dengan cara yang tragis, mungkin ia berpesan kepada kalian untuk tidak ikut jejaknya dan kembali fokus pada tujuan anda semula di Yogyakarta. KULIAH, KULIAH dan KULIAH.

Jangan pernah menciptakan ruang kosong di dalam diri Anda. Carilah dan isilah dengan berbagai kegiatan positif di berbagai organisasi kampus, ekstern kampus dan atau paguyuban kedaerahan. Ketika diri anda kosong tanpa kegiatan, Anda akan mudah terjebak, terhasut dan tergiring dalam perilaku negatif seperti mabuk-mabukan dan premanisme. KUNCINYA ADALAH PENGENDALIAN DIRI DAN MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA KULIAH, BERORGANISASI DAN REKREASI. INI YANG DISEBUT DENGAN MANAJEMEN DIRI. MARI RUBAH GAYA HIDUP HEDONIS MENJADI MAHASISWA BERBUDAYA AKADEMIS.

Selamat Jalan Dedi. Tuhan, alumni Yogya asal NTT, mahasiswa asal NTT Yogya, dan seluruh masyarakat NTT mengasihi engkau. Kami mengenang engkau. Kami tidak memperhitungkan dosamu, hanya TUHAN yang pantas menilai dan menghakimimu. Rest in Pace! *** (gbm/alumnus STMIK AKAKOM Yoyakarta).

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Kembali ke Fitrah Tujuanmu: KULIAH!,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Kembali ke Fitrah Tujuanmu: KULIAH! ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Kembali ke Fitrah Tujuanmu: KULIAH! sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 5:43 PM
Share this post :

+ comments + 2 comments

Anonymous
February 14, 2015 at 3:54 PM

tulisannya kereenn... :)
emang, sebagai mahasiswa daerah, kita juga punya kewajiban menjaga nama baik sendiri, dan tentu saja nama baik daerah yan mengikuti di belakang kita

Anonymous
January 30, 2016 at 3:40 PM

Anda bilang tidak layak? bagaimana nasib serka heru santoso? apa layak hidupnya direnggut oleh bocah ingusan dan pelaku lainnya yang menjadi sampah masyarakat? saya menghargai tulisan anda, saya sependapat dengan anda tentang kembali ke fitrahnya. semoga menjadi pelajaran juga bagi orang-orang dari pulau lainnya. ingat jangan pernah menjadi penjajah, siapapun yang menjadi pelaku kriminal harus menerima hukuman yang setimpal. jadi berbuatlah sebaik-baiknya. hargai penduduk setempat jika kita sedang merantau. jangan jadi sampah.

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger