From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Dinamika Tanah dan Para Tuannya (Catatan kedua)

Dinamika Tanah dan Para Tuannya (Catatan kedua)

Written By Unknown on Tuesday, November 13, 2012 | 4:06 PM


Oleh Abraham Runga Mali

Dualisme

Sekadar mengingatkan, dulu, tanah itu bukan hanya modal ekonomi, tapi sekaligus juga terkait struktur sosial dan kepercayaan masyarakat (religi).


Sedemikian pentingnya tanah, maka tanah diperlakukan seperti makhluk hidup, punya kepala dan ekor (ulu-eko).

Bahkan, konsep Tuhan pun dihubungkan dengan tanah dan kesuburannya. Tuhan itu Bapak Langit-Ibu Bumi. Langit adalah Bapa yang menurunkan hujan dan menyuburkan Ibu Bumi, lalu Sang Ibu menopang seluruh kehidupan di muka bumi.

Maka Tuan (anah itu selain mengatur tanah dalam dimensi ekonomis dan sosial, termasuk mengayomi 'fai walu ana halo', juga melakukan peran religius dalam berbagai upacara adat yang melanggengkan hubungan masyakat dengan Tuhan mereka.

Tanah itu hidup dan kehidupan bagi masyarakat kita, maka kepalanya (ulu) tak boleh diganggu, dan tak boleh ada yang bikin onar di ekornya (eko). Berbuat onar urusannya hidup atau mati. Darah adalah taruhannya.

Semua anggota suku akan serta merta bersekutu (peo) dan membela (laka) tanah milik bersama itu. (Saya menduga peo dan laka berasal dari pengertian ini, minimal dalam pengetahuan bahasa daerah yang saya miliki. Tolong koreksi kalau salah!)

Cuma mari kita sadari bahwa struktur suku di kampung kita dan nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun itu mulai terganggu sejak kedatangan para pedagang Eropa dan Arab hingga terbentuknya institusi negara ini.

Kehadiran institusi dan agama-agama baru membawa dampak yang luar biasa, bukan hanya soal sistem kepercayaan, tapi juga struktur sosial dan sistem perekonomian.

Keretakan sistem perekonomian tampak paling jelas dalam soal kepemilikan tanah. Mungkin saja batas-batas tanah suku masih terpancang jelas, namun kesatuan suku dalam menglelola aset bersama mengalami perubahan yang luar biasa.

Saat ini, kita menyaksikan perbedaan batas wilayah suku dan desa, lalu nilai kebersamaan harus bersaing dengan nilai-nilai ekonomi kapitalis yang mendasarkan diri pada kemampuan individu dan kompetisi yang ketat.

Peran penataan ekonomi, sosial dan kultural yang sebelumnya dimainkan oleh para Tuan Tanah sekarang diambialih oleh pemerintah, para pemimpin agama dan para tokoh masyarakat yang menduduki berbagai posisi dalam institusi modern.

Terjadi dualisme di mana-mana, termasuk dualisme antara penghayatan agama modern seperti kekristenan dan nilai-nilai kultural setempat.

Di gereja orang berdoa kepada Tuhan, di rumah adat mereka menggantungkan diri pada kekuatan roh nenek moyang. Mereka beriman dan bertakwa kepada Tuhan di satu pihak, tapi di pihak lain masih setia membaca nasibnya melalui 'hati ayam atau babi'. Mungkin tidak salah, tapi kita membutuhkan banyak penjelasan agar terjadi inkulturasi secara komprehensif.

Dalam urusan publik juga demikian. Pemerintah dengan perangkat hukum positif mengambil peran yang sebelumnya dijalankan oleh para tuan tanah dengan hukum adatnya.

Banyak persoalan tanah timbul karena dualisme ini. Batas desa beradu dengan batas suku. Tanah sering jadi persoalan karena pemerintah tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) dengan siapa atau tuan-tuan tanah yang mana saja mereka harus berbicara atau berurusan. Ada praktik lain bahwa pemerintah sengaja mengadudomba para tuan tanah dalam rangka kepemilikan tanah..

Dalam beberapa kasus lain, struktur tuan tanah yang tidak jelas, atau yang mulai kabur karena masuknya institusi dan paradigma baru, atau sengaja dikaburkan atau diperebutkan oleh 'para mosa laki' dalam sebuah wilayah/klan sering menjadi sebab-musebab yang lain.
Misalnya pemerintah (dalam pengetahuannya) sudah berbicara dengan orang yang tepat, tapi dalam perjalanan dipersoalkan oleh orang lain ketika dalam klan atau suku itu sedang terjadi perebutan hak dan pengaruh.

Apalagi anggota suku, terutama kaum mudanya, lebih fasih berbicara tentang turunan Napoleon Bonaparte atau Raden Wijaya---sejarah yang diperkenalkan dalam kurikulum pemerintah--ketimbang sejarah tanah dan nenek moyangnya sendiri.

Perebutan tanah dan batas-batasnya semakin rumit karena dibumbui perbenturan kepentingan politik, pergeseran nila-nilai budayai serta perubahan struktur sosial dalam masyarakat.

Opsi Paradigmatik

Dalam situasi seperti ini, menurut saya terpapar di depan kita dua opsi paradigmatik yang bisa kita ambil untuk dielaborasi dan implementasikan di kampung halaman kita.

Pertama paradigma China. Masih ingat apa yang terjadi di dusun Xiaogang, provinsi Anhul Timur di masa Deng Xiaoping.

Waktu itu seorang pemuda berusia 18 tahun bernama Yan Hongchang. Dia secara diam-diam membuat perjanjian rahasia dengan 18 pertani.

Isi perjanjian, tanah komunal atau milik bersama di kampung itu dibagi kepada masih-masing orang menjadi porsi individual.

Semula, Yan takut kalau-kalau kesepakatan di kampungnnya itu akan dituduh 'anti kebijakan pemerintah' (kontrarevolusioner) Ternyata sebaliknya, pemerintahan Deng mengambil model dari kampung itu untuk diterapkan secara masif di seluruh Cina.

Pertanian tak lagi kolektif, setiap orang bebas menjadi kaya, tak ada lagi tuan tanah. Semboyan 'zhifu guangrong', jadi kaya itu jaya, mengggema di seantero Cina.

Apakah mungkin Nagekeo mau meniru paradigma yang ini? Sepertinya sulit. Tidak apa, masih ada opsi yang lain lagi. Ini dari pengalaman suku Maori, penduduk asli New Zeeland, yang sempat saya simak ketika mengunjungi mereka pada pertengahan Oktober tahun lalu.

Orang Maori berhasil dalam perjuangannya menegaskan tanah-tanah suku dari bangsa Kulit Putih sebagai penguasa politik di Selandia Baru. Bahkan, lebih dari itu, mereka berjuang keras untuk mengelolanya secara komunal, lepas dari kendali pemerintah.

Mereka menghitung semua aset Maori, baik tanah, kekayaan alam dan kultural yang dihitung secara terpisah dari kekayaan negara.

Saya pernah mampir di lembah geotermal terpadu milik suku Maori. Karena ada di tanah mereka, suku atau beberapa sub suku di tempat membentuk sebuah trust atau perusahaan yang kemudian menjalin mitra dengan pihak lain. Namun, kendali sepenuhnya di bawah mereka yang berjumlah sekitar 700 orang itu..

Suku Maori di dekat kawasan geotermal, sekitar 30 km dari kota Taupo ini, seperti pengakuan Steve Tritt, Regional Economic Manager Selandia Baru, adalah komunitas Maori yang paling maju karena hampir semua anak-anak mereka selesai dalam pendidikan sarjana atas biaya hasil pengelolaan aset secara bersama itu.

Dari geotermal ini mereka kembangkan ekonomi terpadu, pertanian (tomat dalam ruang kaca), peternaskan sapi dan memproduksi susu. Semuanya dilakukan secara bersama-sama.

Perekonomian di wilayah itu dikembangkan secara modern, gandeng para ahli dari luar. Dekat kawasan bisnis mereka adalah berdiri rumah khas Maori sebagai tempat pertemuan dimana mereka berdiskusi tentang situasi mereka dan menerima tamu.

Menurut saya, model Maori juga menarik untuk bisa dikembangkan di Nagekeo. Pertama-tama mereka berhasil mensertifikasi dan mengkapitalisasi aset-aset mereka sehingga bisa dijadikan jaminan dalam perncarian dana ke perbankan.

Cuma ada satu peringatan, kerekatan suku dan komunitas yang sempat disela oleh pengalaman sistem kolonial dan pemerintahan RI, serta masuknya arus modernisasi yang kuat membuat komunitas-komunitas kita mengalami keretakan yang luar biasa.

Caruk-maruk, perbenturan dan keretakan itu tercermin pada dinamika berpikir kita dalam diskusi pada kelompok digital ini.

Apapun, semoga dialektika ini membawa kita pada konklusi yang memacu perubahan bersama, buka sebuah dinamika involutif, yaitu gerakan berjalan di tempat, atau bahkan bergerak mundur.

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Dinamika Tanah dan Para Tuannya (Catatan kedua),, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Dinamika Tanah dan Para Tuannya (Catatan kedua) ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Dinamika Tanah dan Para Tuannya (Catatan kedua) sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 4:06 PM
Share this post :

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger