From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Nani Aoh di Pusaran Konflik Malaruma

Nani Aoh di Pusaran Konflik Malaruma

Written By Unknown on Saturday, February 25, 2012 | 3:46 PM

Oleh: Julius Jera Rema

Julius Jera Rema
Bupati Nagekeo Yohanes Samping Aoh (Nani Aoh) boleh jadi sedang membusungkan dada. Betapa tidak. Nani yang kini menjabat bupati Nagekeo adalah seorang yang pernah menjadi bupati Ngada, induk Nagekeo sebelum mekar. Nagekeo adalah kabupaten baru, hasil pemisahan diri dari Ngada.


Hanya sedikit orang di negeri ini, atau mungkin satu-satunya manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berulang menjadi bupati di kabupaten berbeda. Untuk soal ini, Nani Aoh hebat!

Namun demikian, kehebatan Nani Aoh di satu sisi tetap menyisahkan kekisruhan di sisi lainnya. Sekurang-kurangnya kekisruhan itu terkait langsung dengan suku Nata Ia, salah satu suku dari kurang lebih tiga suku besar (Nata Ia, Ngege Dhawe/Lape, dan Dhawe) di dataran Mbay, kabupaten Nagekeo. Suku Nata Ia berada dalam dua wilayah kepemerintahan desa yakni desa Olaia dan desa Aeramo di kecamatan Aesesa, kabupaten Nagekeo, provinsi NTT. Dan kekisruhan yang diperlihatkan Nani adalah TANAH!

Saya menyebutnya sebagai kekisruhan untuk menggambarkan keadaan suku Nata Ia karena tanah mereka sedang diambil secara tidak adil oleh pemerintah di bawah pimpinan Nani Aoh, baik sejak dirinya menjadi bupati Ngada hingga dia menjabat bupati Nagekeo. Kekisruhan soal tanah menyisahkan konflik yang berkepanjangan hingga kini. Satu suku dengan suku lainnya saling klaim karena pemerintah cenderung mengacu domba mereka.

Persoalan tanah yang menyeret Nani Aoh dalam catatan saya setidaknya dimulai saat Nani menjadi bupati Ngada (1994-1999). Kala itu kurang lebih tahun 1997 -1998 - demikian saya kutip penuturan Lambertus Karae Tima - mantan Kepala Desa Olaia- bahwa Nani adalah sumber dari segala kekisruhan soal tanah pada umumnya di Mbay, khususnya dengan suku Nata Ia. Saya sengaja menyebut istilah "sekurang-kurangnya" untuk Nani terkait tanah di Mbay karena kekisruhan soal tanah di kawasan ini sejatinya sudah dimulai sejak pendahulu Nani. Namun, tentang pendahulu Nani tidak saya singgung secara serius dalam tulisan kali ini.

Ibu Kota dan Mala Ruma

Saat menjabat bupati Ngada tahun 1994-1999, Nani berperan besar dalam persiapan pemindahan ibukota Ngada dari kota Bajawa ke Mbay (Nagekeo). Pemindahan ibukota dari Bajawa ke Mbay secara implisit menjadi embrio atau cikal bakal pemekaran kabupaten Nagekeo dari kabupaten Ngada. Tentu saja, perpindahan ibukota dari Bajawa ke Mbay membawa konsekuensi ikutan yakni, perlu tersedianya tanah untuk membangun ibu kota baru. Dari sejumlah hamparan tanah di kawasan Mbay, Pemda Ngada memilih Mala Ruma.

Tidak jelas pendekatan apa yang dipakai Pemerintah Daerah (Pemda) Ngada waktu itu kepada suku Nata Ia sebagai pemilik ulayat di Mala Ruma. Namun, tanah seluas 30 hektare (ha) di kawasan itu kemudian berpindah tangan ke Pemda Ngada. Pihak yang menyerahkan kemudian diketahui adalah suku Ngege Dhawe yang merupakan tetangga suku Nata Ia. Tak jelas pula apakah ada ganti rugi atau tidak dalam proses peralihan tanah itu.

Di mata suku Nata Ia, Nani secara sepihak dan kolaboratif menyeret dan memanfaatkan suku Ngege Dhawe (Lape) ke dalam pusaran konflik hingga kini yang terkait langsung dengan penyerahan tanah Mala Ruma.

Nata Ia memprotes penyerahan itu! Di mata suku Nata Ia, Nani menjadi pihak yang memanipulasi penyerahan tanah seluas 30 ha tersebut. Nani lebih yakin dan percaya bahwa tanah Mala Ruma itu adalah tanah milik ulayat Ngege Dhawe, suatu kesalahan besar dimana Nani yang tidak paham benar posisi kedua suku ini terutama yang terkait langsung dengan hak-hak mereka atas tanah Mala Ruma. Posisi Nani jelas mengadu domba suku Nata ia vs Ngege Dhawe, suatu sikap yang layak dikutuk habis-habisan.

Teritorial Ulayat

Suku Ngege Dhawe/Lape secara geografis memang berbatasan (berdampingan) langsung dengan suku Nata Ia. Kedua suku ini memiliki batas-batas teritorial ulayat yang jelas, meski untuk beberapa hal mengutamakan prinsip guru sa pu'u ae sa mata (satu pohon bambu satu mata air), kema gewu rau ghao (bekerja bersama-sama di hamparan ulayat yang sama). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa Nata Ia dan Ngege Dhawe (Lape) dalam batas -batas tertentu boleh secara bersama-sama menguasai dan bekerja di tanah ulayat yang sama.

Di mata Nata Ia, tanah 30 ha di Mala Ruma yang diserahkan oleh suku Ngege Dhawe (Lape) kepada Pemda Ngada (1997) saat bupati Ngada dipimpin Nani Aoh tetap meninggalkan cacat. Penyerahan sepihak yang catat itu jelas menyulut protes suku Nata Ia yang teguh mempertahankan bahwa tanah seluas 30 ha di Mala Ruma itu adalah milik ulayatnya! Protes Nata Ia terjadi berulang-ulang sejak masih bersama kabupaten Ngada hingga kini bersama kabupaten Nagekeo.

Klimaks protes Nata Ia berupa benturan fisik sempat terjadi tahun 2006 hingga menyeret sejumlah warga suku Nata Ia masuk bui. Masuk bui karena pemerintah dan polisi ketika itu menilai protes warga suku Nata Ia brutal. Sejumlah rumah, pondok hunian warga suku Ngege Dhawe dibakar. Bahkan, beberapa aparat polisi kena hantam. Namun, kebrutalan protes Nata Ia harus dilihat dan harus bisa dimaklumi dalam konteks ambiguisitas sikap Pemda Ngada ketika itu.

Protes keras suku Nata Ia sangat jelas: batalkan penyerahan tanah Mala Ruma!! Pembatalan tidak hanya mengandung pengertian bahwa penyerahan hanya sah dan dibolehkan jika dilakukan oleh suku Nata Ia, dan karena itu harus diulang, tetapi pembatalan harus bersifat permanent!! Artinya, tidak perlu ada penyerahan tanah ulayat lagi ke Pemda tanpa tujuan yang jelas.

Terlalu luas dan banyak tanah suku baik Nata Ia, Ngege Dhawe/Lape, dan Dhawe yang sudah diserahkan demi kepentingan irigasi (sawah) Mbay kanan. Tercatat kurang lebih 4.500 ha diperuntukan bagi sawah Mbay. Tanah seluas itu diserahkan tiga suku besar yakni Nata Ia, Ngege Dhawe/Lape, dan Dhawe. Alasan demi kepentingan publik yang selalu diusung Pemda terlanjur dinilai oleh suku Nata Ia sebagai "bohong besar".

Protes Nata Ia kepada Pemda hanya disambut solusi alakadar versi Pemda baik masih bersama kabupaten Ngada hingga kini bersama kabupaten Nagekeo. Saat pertama kali melakukan protes tahun 1997, Pemda Ngada di bawah kendali Nani Aoh meminta kedua pihak Ngege Dhawe dan Nata Ia berembuk untuk mencari solusi jalan tengah.

Berpijak pada prinsip guru sa pu'u ae sa mata, kema gewu rau ghao, kedua suku ini diminta mengendalikan diri agar tidak secara sepihak membangun, menguasai, atau melakukan kegiatan fisik apapun di atas tanah yang berstatus bersengketa itu. Seruan mengendalikan diri juga berlaku bagi Pemda Ngada dan Nagekeo karena tanah seluas 30 ha itu berstatus "tanah sengketa".

Untuk meminimalisasi konflik, maka Nani Aoh pada tahun 1997 pascaprotes Nata Ia kepada Pemda dan suku Ngege Dhawe - demikian penuturan Lambertus Karae Tima- meminta Kepala Desa Lape (Ngege dhawe) Baltasar Lasa dan Kepala Desa Olaia (Nata Ia) Lambertus Karae Tima menandatangani semacam nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) untuk menghindari konflik fisik, sembari menunggu fasilitasi pemerintah menyelesaikan sengketa.

Sayanganya, MoU yang diteken kedua kepala desa itu dan diketahui Nani sebagai bupati Ngada justru dilanggar oleh Pemda Nagekeo dan suku Ngege Dhawe saat ini. Ambiguisitas sikap Pemda Nagekeo jelas semakin menyulut marah Nata Ia karena pemerintahan kabupaten ini bersikap berat sebelah alias tidak adil.

Sikap berat sebelah dan cuek bebek Pemda Nagekeo atas protes Nata Ia semakin terlihat. Pemda Nagekeo saat ini sedang membangun gedung Sekolah Luar Biasa (SLB) di atas tanah sengketa. Pada saat sama suku Ngege Dhawe terus memperluas kebun-kebun dan membangun rumah-rumah di kawasan Mala Ruma, sebuah kawasan yang masih tercatat sebagai kawasan konflik.

Sikap Pemda Nagekeo tersebut patut dikutuk karena mengabaikan protes prinsip suku Nata Ia. Sikap ini mungkin secara tidak sadar bisa menjadi embrio konflik kalau -kalau saja orang Nata Ia gagal menahan diri. Janji pemda sebagai fasilitator penyelesaian sengketa antara Nata Ia dan Ngege Dhawe terbukti hanya slogan.

Menapak Jejak 1972

Dalam kaitan dengan sengketa Nata Ia vs Ngege Dhawe, sekadar catatan, saya menganjurkan menoleh jauh ke belakang sekitar tahun 1971-1972. Melihat kembali ke belakang, ke masa silam, kurang lebih bertujuan agar penilaian atas sengketa kedua suku tidak bias atau sekurang-kurang tidak meleset dari tempatnya.

Lebih dari itu, Pemda Nagekeo setidaknya memiliki refensi yang cukup untuk menilai dan bersikap tepat pada pusaran konflik tanah Mala Ruma. Memang, tidak cukup menggunakan referensi tahun 1972 untuk memetakan posisi Nata Ia dan Ngege Dhawe terkait hak-hak dan batas-batas ulayat kedua suku. Itu harus dilakukan dengan menarik jauh-jauh ke belakang, ke masa silam beratus-ratus tahun atau berabad-abad dimana sejarah kedua suku ini bermula.

Tahun 1972 terbentuklah kampung Roe, cikal bakal desa Ngege Dhawe saat ini. Sebelum itu, warga yang kini mendiami kampung Roe tinggal jauh di pegunungan, di kampung Ngege Dhawe, di bawah kaki bukit Ame Gelu bagian barat. Meski mendiami kampung Roe dan masuk wilayah ulayat dan administrasi Nata Ia, namun warga Roe tetap menjadi bagian dari desa Lape yang merupakan satu kesatuan suku Ngege Dhawe. Desa Lape memiliki teritorial ulayat dan administrasi di wilayah dataran Penginanga, Ulu Wolo, Nage Waja, Rate Ule, dan Kampung Ngede Dhawe itu sendiri.

Tahun 2000 bersamaan dengan proposal pemekaran desa Lape maka terbentuklah desa Ngege Dhawe dimana Roe menjadi sentral. Saat membangun kampung Roe tahun 1972 yang dimotori oleh mosalaki Ngege Dhawe bernama Alex Nge sempat menuai protes suku Nata Ia. Namun, protes Nata Ia terhadap Alex Nge yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar (SD) itu tidak berujung pada pengusiran mereka dari teritorial Nata Ia.

Pendasaran saling paham itu jelas yakni, guru sa pu'u ae sa mata, kema gewu rau ghao. Alhasil, sejalan perjalanan waktu mosalaki Alex Nge juga mempelopori pembangunan SD Lape tahun 1972 di Roe yang secara saling paham juga dimaklumi Nata Ia.

Namun kini, Ngege Dhawe dan Nata Ia secara sengaja diadu domba oleh Pemda Nagekeo (Ngada) karena pemerintah secara sadar mengambil posisi ke salah satu suku. Protes suku Nata Ia yang diabaikan begitu saja memperlihatkan kepongahan Pemda, dimana secara perlahan merampas hak suku-suku atas tanah mereka.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya meminta pemerintah segera menghentikan pembagunan fisik SLB Mala Ruma di atas tanah sengketa Nata Ia vs Ngege Dhawe.

Dalam pertemuan suku Nata Ia tanggal 4 Janurai 2012 di Boanio, dimana saya turut hadir, warga suku Nata Ia sepakat akan mengajukan protes legal ke Pemda untuk segera menghentikan pembanguan fisik apapun termasuk SLB di atas tanah sengketa.

Patrisius Seo Padha Jawa, Felixianus Dedhi Musa, Hironimus Deru Mite, Elias Tanga Sura, dan Thadeus Le'u Lara secara tegas menolak semua tindakan Pemda yang merampas hak ulayat Nata Ia. Kelima orang itu merupakan pemangku adat Nata Ia beserta ana woso ebu kapa (warga suku Nata Ia), telah berikrar mempertahankan hak-hak ulayat mereka meski harus berhadapan dengan pemerintah.


Penulis adalah suku warga suku Nataia (Desa Aeramo), tinggal sementara di Jakarta

SUMBER FLORES FILE EDISI 42/THN VI/MINGGU III FEBRUARI 2012

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Nani Aoh di Pusaran Konflik Malaruma,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Nani Aoh di Pusaran Konflik Malaruma ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Nani Aoh di Pusaran Konflik Malaruma sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 3:46 PM
Share this post :

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger