Oleh Jonas Naga Pago
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) atau Pilkada bagi masyarakat Indonesia tentu bukan “sesuatu” yang baru.
Demikian pula bagi warga masyrakat nagekeo, pengalaman berdemokrasi melalui Pilkada atau Pemilukada sudah diterapkan sejak 2008, dengan memilih langsung pasangan calon bupati dan wakil bupati, demikian pula pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di berbagai daerah.
Belum lagi dengan pengalaman berdemokrasi dalam konteks Pemilu yang digelar pada 2004 dan 2009. Bahkan, pengalaman berdemokrasi juga telah dipraktekkan pada tingkat desa hingga lingkungan.
Di Indonesia, pengalaman berdemokrasi melalui Pemilu yang memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya tentu disadari masih memiliki banyak kekurangan dan menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat.
Dalam berbagai hasil survey, kualitas demokrasi melalui Sistem Pemilu maupun Pemilukada cenderung semakin buruk. Hal ini ditandai dengan masih tingginya aksi kekerasan massa yang jauh dari nilai-niali demokratis, buruknya pengelolaan pemerintahan dan lembaga politik, rendahnya partisipasi publik, serta terwujudnya kebebasan sipil dalam berserikat maupun berpendapat.
Selain itu, buruknya kualitas demokrasi dalam Pemilukada juga ditandai mekanisme pencalonan yang kurang transparan, tidak demokratis dan kadang menjadi alat monopoli partai politik. Kontrol rakyat juga sangat lemah dan rakyat hanya dijadikan kekuatan mobilisasi untuk partai politik tertentu.
Sementara kecurangan-kecurangan yang ditandai praktek money politik, penggelembungan suara dan pemanfaatan struktur birokrasi untuk memenangkan calon tertentu, serta masih kuatnya politik identitas yang menggunakan kultur primordialisme dan etnisitas mengakibatkan pemilih cenderung kurang rasional dalam menentukan pilihannya, karena terjebak oleh simbol-simbol primordialisme. Hal ini juga cenderung menimbulkan pemimpin-pemimpin yang korup.
Meskipun indikator kualititas dan pengalaman berdemokrasi, termasuk di Nagekeo masih menimbulkan perdebatan,namun yang pasti harapan warga masyarakat Nagekeo untuk berpatisipasi dalam system Pemilu maupun Pemilukada, adalah bagaimana melahirkan pemimpin yang mampu mensejahterakan rakyatnya.
Jika mengkaji lebih jauh harapan masyarakat tersebut, maka membangun system Pemilu ataupun Pemilukada yang berkualitas adalah sebuah keniscayaan, karena hanya lewat Pemilu, rakyat akan memilih pemimpin yang diinginkannya.
Masalahnya kemudian, sudah cukupkah pengalaman berdemokrasi tersebut dapat dijadikan modal politik bagi masyarakat nagekeo dalam mewujudkan kualitas berdemokrasi pada pelaksanaan Pemilukada di Nagekeo yang akan digelar pada bulan juli 2013, yakni Pemilihan bupati dan Wakil bupati Nagekeo.
Lalu sejauh mana menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas dan mampu menjawab harapan rakyat yang dipilih melalui system demokrasi yang dikenal dengan Pemilu atau Pemilukada? Sejauhmana kualitas demokrasi dalam Pemilukada dengan output pemimpin yang dihasilkan dapat berkorelasi simetris dengan peningkatan kesejahteraan?
Konsepsi demokrasi prosedural dalam literatur ilmu politik sudah banyak menarik perhatian, seperti Joseph Schumpeter dan Robert Dahl (diulas dalam buku David Held :Models of Democracy Edisi Terjemahan, 2006), maupun Samuel P Huntington (diulas dalam bukunya Political Order in Changing Societies, edisi terjemahan 2003).
Bagi Joseph Schumpeter dimaknai sebagai metode politik penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik di mana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara. Konsep demokrasi prosedural oleh Schumpeter bersifat “one man one vote”.
Demokrasi semacam ini menekankan kepatuhan atas prosedur yang berlaku dalam merebut, mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan. Artinya, demokrasi hanya dimaknai persoalan ketaatan terhadap norma-norma institusional prosedural.
Sementara menurut Robert Dahl, sistem yang demokratis memiliki 7 indikator;
1) Setiap warga negara mempunyai persamaan hak memilih dalam Pemilu (aspek partisipasi),
2) Setiap warga negara mempunyai persamaan hak dipilih dalam Pemilu (aspek kompetisi),
3) Pemilihan pejabat publik diselenggarakan melalui pemilihan yang teratur, fair dan bebas,
4) Kontrol kebijakan dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih,
5) Jaminan kebebasan dasar dan politik,
6) Adanya saluran informasi alternatif yang tidak dimonopoli pemerintah atau kelompok tertentu,
7) adanya jaminan membentuk dan bergabung dalam suatu organisasi, termasuk Parpol dan kelompok kepentingan.
Dalam pandangan Dahl tersebut, demokrasi mengandung dua dimensi, yaitu partisipasi dan kontestasi yang bertujuan memberikan jaminan kehidupan yang berkualitas bagi masyarakat.Bagi Samuel P Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala serta partisipasi rakyat yang tinggi selama Pemilu.
Demokrasi prosedural belumlah cukup untuk melahirkan kualitas demokrasi yang lebih baik. Diperlukan peningkatan level dari kualitas prosedural menuju kualitas subtantif.
Dalam mencapai kualitas subtantif, diiperlukan perwujudan demokrasi yang memberi ruang bagi rakyat untuk memiliki akses dalam proses pengambilan kebijakan publik, memperkuat posisi tawar warga sipil, dan mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat tanpa harus membeda-bedakan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat).
Demokrasi subtantif harus dilandaskan pada etika politik. Selain itu, proses rekrutmen calon pemimpin juga sangat menentukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Muhammad Asfar dalam artikelnya berjudul “Pilkada Langsung dan Masa Depan demokrasi“.
Menurutnya, dalam suatu pemerintahan dimana para pejabat publik dipilih secara langsung oleh rakyat, penyelenggaraan pemerintahan haruslah dilakukan oleh pemerintah yang representatif (representatif government) yang dicirikan pada tiga karakteristik.
Pertama, responsif terhadap aspirasi masyarakat;
Kedua, mampu mengartikulasikan isu-isu, program dan janji-janji partai politik dalam Pemilu (kampanye) menjadi kebijakan publik;
Ketiga, akuntabel. Dalam hal ini penyelenggaraan pemerintahan pemilihan kepala daerah haruslah mendengar semua aspirasi-aspirasi masyarakat, menawarkan program-program dan isu-isu untuk kesejahteraan rakyat dan bukan hanya untuk sekedar hanya janji-janji semata.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Menakar Kualitas Demokrasi dalam Pemilukada Nagekeo,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Menakar Kualitas Demokrasi dalam Pemilukada Nagekeo ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Menakar Kualitas Demokrasi dalam Pemilukada Nagekeo sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 5:03 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos