From World for Nagekeo
Headlines News :
Home » » Anas, Korban Sistem Politik

Anas, Korban Sistem Politik

Written By Unknown on Thursday, February 28, 2013 | 8:55 AM

Oleh Primus Dorimulu

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sesumbar Anas Urbaningrum bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat korupsi Hambalang --dan siap digantung di Monas kalau terbukti korupsi Rp 1 saja-- kini masuk fase pembuktian. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (22/2), menyatakan mantan ketua umum Partai Demokrat itu terindikasi kuat terlibat korupsi. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan dicegah ke luar negeri.

Di media sosial beredar gambar Tugu Monas melengkung dengan tali panjang menjulur ke tanah. Masyarakat yang geram dengan korupsi tak sabar lagi melihat Anas merealisasikan janjinya: digantung di Monas. Sebagai negara hukum, seseorang baru dinyatakan bersalah apabila yang bersangkutan sudah menerima keputusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Vonis hakim diterima tanpa ada upaya banding dan kasasi.

Saat menyampaikan pernyataan pers untuk berhenti dari jabatan ketua umum, Sabtu (23/2), Anas tetap teguh dalam pendiriannya bahwa ia tidak terlibat kasus Hambalang. Tuduhan korupsi yang dialamatkan padanya sama sekali tidak benar. Mantan ketua HMI itu menilai tindakan KPK tidak berdasarkan pertimbangan hukum, melainkan karena tekanan politik. Tekanan dari petinggi Demokrat maupun tekanan dari masyarakat lewat pers dan media sosial.

Sejak Majelis Tinggi Demokrat mengambil alih semua kebijakan operasional organisasi partai dan ketua Majelis Tinggi menegaskan bahwa ketua umum Demokrat dipersilakan berkonsentrasi pada masalah hukum, kata Anas, ia sudah merasakan sesuatu yang berubah drastis. Status tersangka bagi dirinya takkan lama lagi. Apalagi pada waktu yang hampir bersamaan beredar surat perintah penyidikan (sprindik) yang menyatakan Anas tersangka.

Anas tidak menggunakan kata "mundur", melainkan "berhenti" dari jabatan ketua umum. Ia berhenti karena keputusannya datang dari kesadarannya yang ia sebut sebagai "standar etik pribadi". Sedang mundur artinya keputusannya diambil karena tekanan da luar diri. Apa pun diksi yang digunakannya, fakta bahwa ia sangat kecewa pada petinggi Demokrat. Dalam pidatonya, ia secara eksplisit mempertanyakan etika di kalangan elite Demokrat. "Di hari-hari ke depan akan diuji pula etika Partai Demokrat. Apakah Demokrat ini santun atau sadis dalam politik," tanya Anas.

Ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap petinggi Demokrat. Berkali-kali ia mempertanyakanm apakah keputusan KPK semata-mata pertimbangan hukum atau karena tekanan politik. Ia berjanji akan membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat korupsi Hambalang. Banyak juga orang yang bersimpati kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini.

Apa pun reaksi dan langkah Anas, juga petinggi Demokrat, rakyat hanya mengharapkan satu hal: tumpas korupsi hingga ke akar-akarnya. Meski ada kekurangan, KPK masih menjadi lembaga penegak hukum terbaik. Para petinggi dan seluruh penyidiknya relatif bersih dibanding Polri, Kejaksaan, dan Kehakiman. Dukungan terhadap KPK akan terus membesar pada masa akan datang.

Tidak sulit bagi masyarakat untuk mereka-reka apakah seorang pejabat politik korup atau tidak korup. Jika rumah, mobil, dan berbagai fasilitas yang dimiliki begitu hebat, jauh di atas pendapatan, rakyat pasti curiga, dan itu wajar belaka. Pengurus parpol yang kekayaannya tiba-tiba melonjak pasti mengundang curiga. Rakyat paham benar, pengurus parpol tidak digaji. Sumber dana parpol pun sangat terbatas.

Kasus Anas, Andi Malarangeng, Angelina Sondakh, dan Muhammmad Nazaruddin cs harus diusut dan diungkap tuntas ke publik. Kekayaan yang dimiliki Anas tidak sebanding dengan pendapatannya. Sangat gegabah jika Anas susumbar menggantungkan diri di Monas jika terbukti korupsi barang satu rupiah. Bila diusut dengan objektif, korupsi akan terungkap.

Selain Anas, tentu ada pihak lain --entah petinggi parpol atau pun pejabat-- yang terlibat. Karena itu, Anas diharapkan menjadi whistleblower, peniup peluit agar para koruptor --baik di Demokrat maupun di partai lain, juga pejabat--, bisa digelandang KPK dari liang persembunyian mereka.

Anas menjadi salah satu pihak yang diharapkan ikut membersihkan partai dari anasir korupsi.

KPK diharapkan tidak saja meneliti barang bukti dan para saksi, melainkan juga aliran uang. Kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Laporan Keuangan (PPATK) mutlak perlu. Lembaga ini wajib menelusuri aliran dana para koruptor dan menyampaikannya kepada KPK. Jika ada kendala hukum, UU PPATK perlu diamandemen.

Prinsip "follow the money" akan mengungkap pemilik dana dan asal-usul dana. Sangat mudah mengungkap kasus korupsi kalau para penyelenggara negara serius memberantas korupsi. Semua rekening gendut milik pengurus parpol, anggota DPR RI, menteri, gubernur, bupati, anggota DPRD akan ketahuan.

Dengan hukum pembuktian terbalik, mereka harus membuktikan dari mana kekayaan mereka.

Buruknya sistem politik Indonesia sulit membuat orang baik tetap baik. Banyak orang baik yang begitu masuk partai berubah menjadi koruptor.

Penyebab terbesar adalah cuaca di parpol yang memaksa orang menyesuaikan diri. Di satu pihak, setiap parpol berlomba untuk memenangi semua pemilukada dan pileg. Di lain pihak, parpol tidak punya pendanaan yang mantap dan transparan.

Parpol belum bisa hidup dari iuran anggota dan sumbangan sukarela. Kontribusi APBN terhadap partai terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya. Sumbangan APBN kepada parpol berdasarkan raihan pemilu 2009 --yang diikuti suara sah 104 juta-- sebesar Rp 11,5 miliar atau Rp 102 per suara. Dalam kondisi dana terbatas, ketua dan bendahara partai "dipaksa" untuk mencari "jalan tikus" mendapatkan dana bagi partai. Kondisi inilah yang membuat petinggi partai mudah terjebak korupsi.

Partai berkuasa mendapatkan peluang lebih besar untuk "memainkan" proyek di pemerintahan dan BUMN. Kasus Narazaruddin --yang kemudian menyeret para petinggi Demokrat-- menjadi contoh kasat mata. Situasi menjadi-jadi karena parpol belum memiliki kebiasaan untuk transparan dan akuntabel dalam mengelola dana. Anas bukan hanya korban nyanyian Nazaruddin, melainkan terutama korban amburadulnya sistem pengelolaan partai di Indonesia.

Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo

Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Anas, Korban Sistem Politik,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda . Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Anas, Korban Sistem Politik ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Anas, Korban Sistem Politik sebagai sumbernya.

Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::

Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 8:55 AM
Share this post :

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Nagekeo Pos

 
Admin: Hans Obor | Mozalucky | Nagekeo Bersatu
Copyright © 2013. NAGEKEO POS - All Rights Reserved
Thanks To Creating Website Modify and Used by Nagekeo Bersatu
Proudly powered by Blogger