Oleh Primus Dorimulu
Perawakannya yang tipis tapi lincah-energik seakan hendak memberikan sinyal kepada birokrasi negeri ini yang tambun, lamban, dan malas untuk mengintrospeksi diri dengan jujur.
Pada hari pertama bertugas sebagai gubernur DKI Jakarta, Selasa (16/10), Jokowi langsung mengunjungi wilayah paling kumuh di Ibu kota. Ia memanjat dinding rumah-rumah kumuh di pinggir Sungai Ciliwung. Aparat yang tambun kewalahan dan tertinggal jauh di belakang. Tidak mampu mengikuti pergerakan sang gubernur yang sudah berjanji untuk cukup sejam sehari di kantor.
Waktu yang lain digunakan untuk langsung meninjau lapangan. Melihat langsung kondisi riil rakyat. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu statistik, Jokowi tahu persis: di balik angka-angka satistik ada jebakan. PDB per kapita Jakarta yang mencapai US$ 11.000 (jauh di atas PDB per kapita nasional sebesar US$ 4.000) adalah angka rata-rata. Pendapatan orang kaya dan perusahaan digabung dengan orang miskin. Tanpa kejelian, keberadaan orang miskin tenggelam di tengah rimba beton. Karena tidak terpantau radar birokrasi, nasib orang miskin, bisa jadi, dilupakan. Tak kenal, maka tak sayang.
Jokowi datang menghampiri rakyat paling jelata. Melihat langsung dengan mata kepalanya. Ikut merasakan susahnya tinggal di kawasan kumuh. Ia tahu persis, sukes suatu masyarakat bukan ditentukan oleh segelintir yang palling depan, yang paling maju, melainkan mereka yang berada paling belakang. Jakarta akan dinilai maju jika tak ada lagi orang miskin. Ia membasmi kemiskinan, bukan orang miskin. Ia membanhi kawasan kumuh, bukan mengusir kaum papa dari kawasan kumuh.
Jokowi berkendara tanpa pengawalan agar ikut merasakan macetnya Jakarta. Ia tidak menggunakan pengawalan yang membuat sesama pemakai jalan menderita. Ia ikut menerjang kemacetan agar bisa terus termotivasi dan terinspirasi mengatasi kemacetan Jakarta. Dengan melihat langsung lapangan, Jokowi terhindar dari laparan "asal bapak senang".
Mewujudkan birokrasi yang bersih, lincah, memiliki semangat melayani, dan tanggap terhadap kebutuhan rakyat adalah prioritas utama Jokowi. Ia berusaha mendudukkan kembali birokrat pada posisinya sebagai abdi negara. Mengambilkan posisi PNS sebagai aset bangsa, bukan liabilitas negara. Selama ini, birokrat yang korup menjadi penghambat pembangunan nasional dan penghalang upaya menyejahterakan rakyat. Tak hanya di tingkat nasional dan kementerian kita menemukan birokrasi dengan model seperti itu, tetapi juga di daerah, termasuk di DKI.
Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong beberapa waktu lalu menempatkan Indonesia pada peringkat kedua terbawah, setelah India. Dari 12 negara yang disurvei, Indonesia mendapat skor 8,59 (peringkat 11) dan India diberi skor 9,41 (peringkat 12 atau peringkat terburuk). Peringkat terbaik ditempati Singapura dengan skor 2,53.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) yang menganalisis hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menempatkan Provinsi DKI Jakarta sebagai provinsi terkorup dengan nilai penyelewengan Rp 721 miliar. Posisi tersebut tak lepas dari kinerja aparat Pemprov DKI Jakarta.
Di tengah besarnya harapan warga Jakarta terhadap perbaikan di berbagai sektor kehidupan pascapilkada, reformasi birokrasi sesungguhnya merupakan tantangan terbesar. Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama tak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan slogan “Jakarta Baru”. Mereka harus didukung jajaran birokrasi yang bersih dan berdedikasi. Karna itu, keduanya harus mampu menggerakkan birokrasi Jakarta agar lebih efisien, efektif, cekatan, proaktif, mengutamakan pelayanan, dan tidak korup.
Persoalan utama birokrasi adalah ketidakseimbangan antara biaya yang dikeluarkan negara untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sangat tinggi dibanding kinerja melayani masyarakat. Di tingkat nasional dan daerah, APBN dan APBD lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan birokrasi, bukan buat belanja pembangunan. Bahkan, ada daerah yang lebih dari 70 persen APBD-nya digunakan untuk belanja birokrasi.
Kondisi ini tentu saja tak adil bagi rakyat yang harus bekerja keras dan membayar pajak, sementara para birokrat menikmatinya sambil bekerja asal-asalan. Dalam beberapa kasus, tak jarang masyarakat atau pengusaha diperas oleh birokrat saat mengurus izin tertentu. Penyakit birokrasi ini telah diidap puluhan tahun dan hingga kini belum ditemukan resep manjur untuk mengatasinya. Birokrasi yang sejatinya menjadi pelayan publik, malah berbalik meminta dilayani publik.
Provinsi DKI Jakarta termasuk provinsi yang cukup ideal mengalokasikan belanja birokrasi dengan belanja publik. Dalam APBD DKI Jakarta 2012, alokasi belanja pegawai mencapai 33,7 persen. Bandingkan dengan provinsi lain yang menyedot lebih dari 50 persen untuk belanja pegawai. Meski demikian, kita menilai besaran tersebut belum seimbang dengan output pegawai Pemprov DKI Jakarta. Pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) baru selesai seminggu, bahkan lebih. Itu pun masih dibebani pungutan liar (pungli).
Berbagai perizinan bagi dunia usaha baru beres dalam waktu berbulan-bulan. Kondisi ini tentu tak kondusif bagi dunia usaha. Program pendidikan gratis 12 tahun dan pelayanan kesehatan gratis yang dicanangkan mantan Gubernur Fauzi Bowo, kerap tak berjalan mulus di lapangan. Pungli di sekolah negeri tetap marak. Warga miskin kesulitan mendapat pengobatan gratis di rumah sakit. Semua itu membuktikan masih buruknya birokrasi Pemprov DKI Jakarta.
Di sisi lain, kita masih melihat banyak pegawai yang tak produktif. Mereka hanya bekerja 4-5 jam dalam sehari, itu pun tak penuh. Pegawai yang bermain catur atau berbelanja pada jam kerja, tidur-tiduran, atau hanya sibuk membaca koran dan majalah, berinteraksi lewat sms (pesan singkat), facabook, dan twitter dengan mudah kita jumpai. Belum lagi persoalan anggaran yang disunat birokrat.
Semua persoalan itu harus segera dibereskan Jokowi-Basuki. Setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan. Pertama, melakukan perampingan melalui program pensiun dini dan zero growth. Dengan struktur birokrasi yang lebih ramping, setiap aparat pemprov dituntut bekerja efisien dan efektif.
Konsekuensinya, belanja birokrasi bisa lebih dihemat, sehingga sebagian dana bisa dialihkan untuk belanja publik, bahkan dapat dialokasikan untuk pemberian insentif kepada PNS yang berprestasi agar mereka lebih semangat lagi bekerja. Kedua, setiap aparat pemprov harus mendapat tugas yang jelas dan diberi target. Bila target tak tercapai, yang bersangkutan harus diberi sanksi, mulai dari teguran hingga demosi. Ketiga, memberdayakan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) dan melibatkan masyarakat untuk memantau kinerja aparat pemprov.
Bila ketiga langkah itu dilakukan secara konsisten, diikuti dengan pendekatan personal yang memadai, kita yakin Jokowi-Basuki mampu menggerakkan birokrasi untuk mewujudkan Jakarta Baru. Dukungan birokrasi yang bersih, cerdas, dan bekerja sepenuh hati sangat menentukan keberhasilan Jokowi merealisasikan janji-janjinya.
Written by : Unknown ~ Berita Online Nagekeo
Anda sedang membaca sebuah artikel yang berjudul Jokowi Benahi Birokrasi Jakarta,, Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda .
Anda boleh menyebar luaskannya atau Mengcopy Paste-nya jika Artikel Jokowi Benahi Birokrasi Jakarta ini sangat bermanfaat bagi Blog dan teman-teman Anda, Namun jangan lupa untuk Meletakkan link Jokowi Benahi Birokrasi Jakarta sebagai sumbernya.
Join Us On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for Visiting ! ::
Written by: Nagekeo Bersatu
NAGEKEO BERSATU, Updated at: 1:19 PM
Post a Comment
Note :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM
Semoga Jaringan kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi
Regards,
Nagekeo Pos